Dongeng Pada Masaku

AKU lahir tahun 1949. Mulai bersekolah pada tahun 1963 dan melanjutkan kuliah pada tahun 1967. Pada usia duapuluhan, aku berada di tengah- tengah kegilaan dan kebingungan era 1968. Yang barangkali menyebabkan aku menjadi anak muda enampuluhan pada umumnya. Itu adalah masa yang paling gamang sekaligus penting bagi hidupku, dan saat itu pula aku menghirup kebebasan dalam- dalam. Pada masa itu segalanya diwakili oleh Jim Morrison, The Beatles dan Bob Dylan yang riuh terdengar di mana- mana.

Bahkan hingga kini, jika melihat semua yang telah terjadi, aku merasa masa- masa itu berharga. Aku yakin jika kamu harus menilai apa- apa yang telah kamu lalui, kamu tidak akan menemukan ada sesuatu yang penting. Hanya merasa dihangatkan oleh mesin waktu, dengan pancaran yang terbatas akan beberapa hal yang hilang pada waktu dan tempat tertentu, dan sejenis perasaan yang tidak dapat dijelaskan, seperti melihat sesuatu melalui teleskop yang tidak tepat. Kegagahan dan kejahatan, kebahagiaan dan kekecewaan, kerelaan untuk mati, keheningan dan hingar-bingar, dan banyak hal lain… hal- hal pada usiaku. Hanya, pada suatu hari—semoga kamu mengampuni pengungkapan perasaan yang berlebihan ini—yang sangat cerah, sangat-mudah-diraih-secara-gamblang. Tidak ada penipuan, tidak ada kupon diskon, tidak ada iklan terselubung, juga tidak ada yang tersembunyi dan membahayakan. Sebab dan akibat menggetarkan jemari, teori dan kenyataan mengeratkan kepercayaan diri. Sebuah perjalanan sebelum sejarah kapitalisme mutakhir: demikianlah aku menyebut masa itu.

Namun, agaknya apa yang dibawa oleh masa itu pada generasiku adalah sebuah pancaran khusus, aku pun tidak yakin. Pada kesimpulan akhir, barangkali kita hanya melalui masa itu seperti menyaksikan potongan film yang menarik: kita mengalaminya secara nyata, hati kita berdebar, telapak tangan kita berkeringat. Demi alasan apapun, kita abai untuk mempelajari sesuatu pelajaran yang berharga dari itu semua. Jangan tanya kenapa. Aku telah larut untuk menjawab pertanyaan itu selama bertahun- tahun. Hanya ada satu hal yang bagiku penting untuk dipahami: aku tidak bangga sedikit pun setelah melalui masa itu; aku hanya menyampaikan apa yang terjadi.

***

SEKARANG aku akan bercerita tentang perempuan- perempuan pada masaku. Tentang hubungan seksual yang rumit dengan laki- laki, dengan alat kelamin yang baru dikenali dan dengan perempuan yang masih perawan. Pada tahun enampuluhan, keperawanan mempunyai andil yang lebih besar ketimbang kini. Sejauh yang telah kulihat –aku tidak melakukan penelitian untuk ini—sekitar setengah dari perempuan generasiku tidak lagi perawan pada usia duapuluh. Atau, setidaknya demikianlah yang terjadi di daerah sekitarku. Yang berarti, secara sadar atau tidak, setengah dari perempuan di sekitarku pula masih menghormati keperawanan.

Jika melihat ke masa lalu, sebagian besar perempuan generasiku baik yang perawan maupun tidak, telah mengalami pergulatan batin tentang seks. Semuanya tergantung pada keadaan dan pada pasangan. Sebagian yang lebih terbuka menganggap seks semacam olahraga, sementara yang lebih tertutup akan menjaga keperawanan hingga menjelang pernikahan. Banyak laki- laki yang lebih memilih menikahi perawan.
Orang- orang berubah, pun nilai- nilai. Ini adalah hal yang akan terus terjadi. Namun apa yang terjadi pada generasi enampuluhan benar- benar berbeda dengan masa lainnya yang telah diketahui.

***

INI adalah cerita tentang seseorang yang kukenal. Ia sekelas denganku saat SMA di Kobe, dan terus terang ia adalah lelaki yang dapat melakukan apapun. Nilainya bagus, ia atletis, dipertimbangkan secara baik dan memiliki kemampuan sebagai pemimpin. Ia tidak terlalu tampan, namun juga tidak dapat disebut jelek samasekali. Ia bahkan bisa bernyanyi. Ia adalah pembicara yang bersemangat, yang selalu mampu menyatukan pendapat dalam diskusi di kelas. Ini bukan berarti ia adalah pemikir yang orisinil –namun siapa yang mengharapkan orisinalitas di ruang kelas? Yang diinginkan adalah agar diskusi selesai secepat mungkin dan jika ia membuka mulutnya, semua yakin diskusi akan langsung selesai. Untuk hal ini, kamu dapat menyebutnya sebagai teman yang baik.

Tidak ada yang salah dengannya. Namun, sekali lagi aku tidak dapat membayangkan apa yang terlintas di benaknya. Kadang aku ingin melepaskan kepalanya, mengaduk- ngaduk isinya untuk mendengar apa suara yang kemudian akan timbul. Ia terkenal di kalangan perempuan. Setiap kali ia berdiri untuk mengutarakan sesuatu di kelas, perempuan- perempuan akan menatap kagum padanya. Ia pun dapat membantu menyelesaikan soal matematika. Ia tentu saja duapuluhtujuh kali lebih terkenal daripada aku saat itu.

Kita semua memahami pelajaran dari buku catatan kehidupan masing- masing, dan satu hal yang aku ingat secara terus menerus adalah hal- hal semacam itu terdapat pada siapapun. Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan lelaki jenis itu. Sepertinya aku suka seseorang yang tampak wajar, entahlah. Barangkali seseorang dengan penampilan yang tidak terlalu istimewa. Sehingga, selama sekelas dengan lelaki itu, aku tidak pernah menghabiskan waktu dengannya. Aku bahkan ragu pernah berbicara dengan dia. Kali pertama aku terlibat dalam obrolan dengannya adalah saat libur musim panas setelah tahun pertama di universitas. Kami bertemu di sekolah mengemudi, lantas berbicara tentang segala macam hal dan minum kopi bersama saat istirahat. Sekolah mengemudi itu sangat membosankan dan aku lebih senang menghabiskan waktu dengan seorang kenalan. Aku tidak mengingat apapun tentang obrolan kami, yang kami perbincangkan tidak meninggalkan kesan apapun, baik maupun buruk.

Hal lain yang aku ingat tentang dia adalah pacarnya. Pacarnya berada di kelas yang berbeda, dan disebut- sebut sebagai perempuan tercantik di sekolah. Ia memperoleh nilai yang bagus, seorang atlit, memiliki sifat kepemimpinan dan seringkali mengakhiri diskusi panjang di kelas. Keduanya seperti diciptakan untuk saling berpasangan: Tuan dan Nona Rapi, seperti sesuatu yang muncul di iklan pasta gigi.

Aku sering melihat mereka. Setiap jam makan siang, mereka duduk berdua di pojok halaman sekolah, sambil berbincang- bincang. Sepulang sekolah, mereka mengambil kereta bersama dan turun di stasiun yang berbeda. Si laki- laki bergabung dengan tim sepakbola, sementara si perempuan bergabung dengan English Club. Saat kegiatan ekstrakurikuler keduanya tidak selesai bersamaan, maka yang selesai lebih dulu akan belajar di perpustakaan. Setiap waktu luang akan dihabiskan berdua.

Tidak ada seorang pun dalam kelompokku yang menentang mereka. Kami tidak mengolok mereka atau menyulitkan mereka, bahkan sesungguhnya kami tidak peduli dengan mereka. Mereka tidak memiliki celah bagi kami untuk berprasangka. Mereka seperti cuaca, cukup berada sebagai kenyataan fisik saja. Kami tentu saja lebih senang membahas seks, music rock and roll, film Jean- Luc Godard, gerakan politik, novel Kenzaburo Oe dan hal semacam itu, khususnya seks.

Baiklah, kami memang acuh dan hanya peduli pada diri sendiri. Kami tidak memiliki arah dalam hidup. Namun bagi kami, Tuan dan Nona Rapi hanya berada di Dunia Rapi. Yang barangkali berarti ilusi mereka tengah menghibur kami dan mereka merengkuh suatu ilusi yang lain, yang sampai batas tertentu telah tertukar.

Ini adalah cerita mereka. Bukan cerita yang bahagia, pun bukan cerita yang sarat dengan petuah baik. Namun itu bukan masalah: cerita kami pun seperti mereka adanya. Yang menurutku, membuatnya menjadi semacam sejarah suatu budaya. Bahan yang tepat untuk disimpan dan dikaitkan oleh orang seperti aku, tukang cerita yang tidak peka.

***

LAKI- LAKI itu menemuiku di Lucca, sebuah kota di Italia, di kaki gunung Tuscan. Aku dan istriku tengah menyewa sebuah apartemen di Roma saat itu, namun istriku balik ke Jepang untuk beberapa minggu sehingga aku pun berjalan- jalan dengan menggunakan kereta. Dari Venesia ke Verona, ke Mantua ke Modena, lalu berhenti sebentar di Lucca, sebuah kota kecil yang tenang dengan restoran yang menyajikan hidangan jamur yang lezat. Secara kebetulan laki- laki itu berada di penginapan yang sama denganku.
Betapa kecilnya dunia ini.

Malam itu, aku dan dia makan malam bersama di restoran. Kami berdua tengah berjalan sendirian; kami berdua pun tengah bosan. Ketika kamu semakin tua, berjalan- jalan sendirian menjadi semakin membosankan. Pemandangan tampak kurang indah, orang- orang berbicara tanpa henti dan menyiksa pendengaranmu. Kamu tidak keberatan mencoba restoran baru dan menunggu kereta sebentar saja seolah selamanya. Kamu terus melihat jam tanganmu dan tidak tertarik untuk mencoba mempelajari bahasa yang digunakan oleh penduduk setempat di negeri yang tengah kamu jelajahi. Kamu memejamkan mata dan yang terlintas di benakmu hanyalah kesalahan di masa lalu.

Barangkali itulah mengapa ia dan aku merasa lega saat bertemu, persis seperti saat kami bertemu di sekolah mengemudi. Kami duduk di meja yang dekat dengan perapian, memesan rosso, dan terus makan antipasto fungi trifolati, lalu fettuccine ai porcini dan arrosto di tartufo bianco.

Ia datang ke Lucca untuk membeli perabotan, sebutnya. Ia menjalankan sebuah perusahaan yang khusus menjual perabotan Eropa dan tentu saja ia sukses. Ia tidak membual atau sejenisnya, namun aku dapat memahami bahwa ia adalah lelaki dengan dunia dalam genggaman tangannya. Semuanya terlihat jelas dari pakaian yang dikenakan, caranya berbicara, dan pembawaan dirinya. Kesuksesan terlihat patut untuknya dan pantas dilihat.

Pada mulanya kami berbincang- bincang tentang Italia. Jadwal kereta yang tidak dapat diandalkan, dan banyaknya waktu yang dihabiskan untuk sekadar makan. Lalu aku lupa apa yang kemudian terjadi, namun saat pelayan membawa botol anggur kedua, ia mulai bercerita tentang dirinya, dan aku menyela pada jeda yang tepat. Aku rasa ia menyimpan hasrat bercerita cukup lama, namun gagal melakukannya. Jika bukan karena suasana restoran yang demikian nyaman dan Coltibuono ’83, barangkali ia tidak akan bercerita tentang ini.

***

“AKU selalu beranggapan aku adalah orang yang membosankan,” ujarnya. “Bahkan saat aku masih kecil, aku merasa berada dalam kotak. Seperti ada pagar yang mengelilingiku, dan aku berhati- hati agar tidak keluar dari sana. Ada petunjuk, seperti yang ada di jalan raya: ambil jalur kanan hanya untuk keluar dari jalur, jangan menyalip. Kamu harus patuh pada rambu- rambu dan kamu akan sampai ke tujuan. Itulah caraku melakukan segalanya, aku melakukan dengan cara yang telah ditentukan, dan sebagai hasilnya semua orang dewasa memujiku. Ketika kanak- kanak, aku pikir semua orang melihat segalanya dengan cara yang sama. Namun cepat atau lambat, aku paham bahwa kasusnya tidak demikian.”

Aku memegang gelas anggurku menghadap perapian dan menatapnya sejenak.

“Seluruh hidupku—atau paling tidak pada awalnya—segalanya berjalan dengan lancar bagiku. Aku tidak memiliki masalah dalam berbicara, namun di sisi lain, aku tidak punya gagasan bagi arti kehidupan. Aku tidak tahu apa yang kulakukan saat itu dan selanjutnya. Maksudku, aku mahir dalam mengerjakan soal- soal matematika, dalam bahasa Inggris dan olahraga. Banyak teman yang mendukungku, guru- guru mengatakan aku tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Namun, apakah itu yang benar- benar aku cari? Apa yang ingin aku lakukan dengan diriku sendiri? Apa aku harus mempelajari hukum? Teknik? Atau aku harus menjadi dokter? Semuanya tentu bagus. Lalu aku mengikuti apa yang disarankan oleh guru dan orangtuaku, lantas aku mempelajari hukum di Universitas Tokyo.”

Ia meneguk anggurnya lagi.

“Kamu ingat pacarku sewaktu SMA?”

“Namanya semacam Fujisawa, seingatku.” Aku berusaha mengingat nama perempuan itu. Aku tidak yakin, namun ternyata dugaanku tidak salah.

Ia mengangguk.

“Ya, Yoshiko Fujisawa. Hal yang sama pun dialami olehnya. Aku dapat menceritakan segalanya yang kurasakan dan ia mengerti. Dan kami dapat berbicara tanpa henti. Maksudku, hingga aku bertemu dengannya, aku tidak pernah mempunyai teman yang benar- benar dapat berbicara denganku.”

Ia dan Yoshiko Fujisawa tampak seperti kembar secara batin dan itu mengerikan. Mereka adalah pemimpin. Bintang sekolah. Mereka berasal dari keluarga yang berada, dimana orangtua mereka saling tidak akur. Ayahnya memiliki perempuan simpanan dan terkadang tidak pulang ke rumah pada malam hari. Satu- satunya hal yang tidak membuat orangtuanya tidak bercerai adalah kekhawatiran akan prasangka orang banyak. Ibunya mengatur rumahtangga, dan anak- anaknya dipaksa untuk menjadi yang terbaik pada apapun yang mereka lakukan. Keduanya tidak mudah dekat dengan orang lain. Mereka berdua terkenal, namun tidak sungguh- sungguh memiliki teman karena alasan yang mereka pun tidak pahami. Barangkali manusia normal yang tidak sempurna hanya bersedia untuk menemani sesamanya.

Keduanya selalu kesepian. Kemudian mereka bertemu dan saling menerima satu sama lain. Mereka jatuh cinta. Mereka merasa menyatu bersama. Mereka berbagi banyak rahasia, mereka tidak pernah lelah membicarakan keterasingan yang dirasakan, rasa tidak aman dan mimpi- mimpi mereka.

Namun mereka memiliki aturan untuk kontak fisik: tidak boleh melepaskan pakaian ketika bercumbu. Setiap minggu, mereka akan menghabiskan waktu siang di kamar. Rumah keduanya sepi—tanpa Ayah dan Ibu yang acuh. Mereka memperbolehkan diri untuk bercumbu selama sepuluh atau limabelas menit sebelum kembali belajar bersama.

“Baiklah, cukup ya?” ujar perempuan itu sambil merapikan roknya.

Mereka berdua memperoleh nilai yang memuaskan. Belajar, bagi mereka tidak menyulitkan sama sekali, rasanya seperti kemampuan alamiah saja. Mereka bahkan berlomba dalam menyelesaikan soal- soal matematika. “Rasanya menyenangkan,” ujar lelaki itu. Ya, itu terdengar bodoh, namun bagi mereka itulah cara bersenang- senang. Semacam kesenangan yang tidak dapat dipahami oleh manusia biasa seperti kita.
Namun hubungan itu tidak sepenuhnya membuat lelaki itu bahagia. Ia merasa ada sesuatu yang hilang. Ia ingin tidur dengan perempuan itu. Ia ingin melakukan hubungan seksual. “Penyatuan fisik” adalah kata- kata yang ia pakai untuk itu.

“Menurutku, itu akan memberi kami pengertian yang lebih intim terhadap satu sama lain,” jelasnya padaku.

“Itu seperti sebuah langkah yang paling alamiah menuju jenjang berikutnya.”

Perempuan itu, bagaimanapun tidak setuju. Ia mengatupkan bibirnya dan menggelengkan kepala. “Aku menyukaimu, tapi aku ingin tetap perawan hingga aku menikah nanti.”

Sekeras apapun lelaki itu mencoba membujuknya, namun perempuan itu tetap tidak mengubah keputusannya. “Kamu tahu, aku menyukaimu,” katanya. “Sangat dan sungguh mencintaimu. Namun itu akan tetap begitu, hal lain yang samasekali berbeda. Maaf, tapi biarkan aku dengan keputusan ini. Jika kamu memang mencintaiku, dapatkah kamu melupakan hal itu?”

“Karena itu kehendaknya,” lelaki itu bercerita padaku. “Aku harus menghormati keinginannya. Ia tidak meminta sesuatu yang tidak mungkin. Aku sendiri berpikir bahwa keperawanan bukan masalah yang besar. Aku bahkan ragu aku akan peduli jika perempuan yang kunikahi perawan atau bukan. Aku bukan pemikir radikal, namun hal itu tidak membuatku menjadi seorang fundamentalis. Aku hanya orang yang realistis. Hal yang penting bagi seorang lelaki dan perempuan adalah mengetahui dari mana masing- masing berasal. Itu menurutku. Namun pacarku memiliki gambaran tentang hidup yang ia idamkan. Dan aku tidak keberatan dengan itu. Kami hanya saling bercumbu, dengan tangan di balik pakaian kami, kau tahu hal semacam itu.”

“Aku rasa begitu,” ujarku.

Ia merona dan tersenyum.

“Itu tidak terlalu buruk, dan sejauh itu berjalan, aku tidak dapat berhenti berpikir tentang seks. Bagiku, kami hanya tinggal setengah jalan lagi menuju seks. Aku ingin menjadi satu dengannya. Aku tidak ingin ada yang membatasi, tidak ada yang disembunyikan. Aku membutuhkan semacam pertanda. Benar, keinginan seksualku adalah sebagian dari itu, namun tidak hanya keinginan itu saja. Aku belum pernah merasa menyatu dengan sempurna dengan apapun atau siapapun. Aku selalu sendiri. Selalu tertekan dalam sebuah kotak. Aku ingin membebaskan diriku sendiri. Aku ingin menemukan diriku yang sesungguhnya. Melalui hubungan seksual dengannya, aku merasa dapat melepaskan diri dari belenggu itu.”

Lelaki itu mendekati pacarnya dengan sebuah rencana. Begitu mereka menyelesaikan kuliah, tuturnya, mereka akan menikah. Jika perempuan itu ingin bertunangan, mereka dapat melakukan itu secepatnya. Tidak ada masalah samasekali. Perempuan itu melihatnya selama beberapa saat. Lalu ia tersenyum, sebuah senyum yang sangat manis. Ia sangat bahagia mendengar kata- kata dari lelaki itu. Namun bersamaan dengan itu, senyumnya menyiratkan kesedihan. Ia tidak secara terang menunjukkan seperti itu, pun tidak memberi harapan, atau setidaknya itulah yang dirasakan oleh lelaki itu.

“Itu tidak mungkin,” ucap perempuan itu.

“Kamu dan aku tidak akan pernah menikah. Aku akan menikahi seseorang yang lebih tua dariku, dan kamu akan menikahi seseorang yang lebih muda darimu. Begitulah seharusnya. Perempuan lebih cepat matang dan tua daripada laki- laki. Bahkan jika kita menikah tepat setelah kuliah, tetap saja tidak akan bertahan lama. Lagipula, kita tidak dapat terus melakukan hal ini. Kamu tahu, aku menyukaimu, lebih daripada aku pernah menyukai orang lain. Namun itu akan tetap begitu, dan ini adalah ini. Kita masih SMA. Kita berada dalam hidup yang terkekang. Dunia yang sesungguhnya lebih besar dan lebih sulit. Kita harus mempersiapkan diri.”

Ia mengerti apa yang akan dituturkan oleh perempuan itu. Ia sangat realistis dalam berpikir dibandingkan banyak laki- laki pada generasinya. Jika ia diberitahu tentang keputusan yang menyangkut kepentingan khalayak ramai barangkali ia akan setuju. Namun hal ini tidak menyangkut dengan kepentingan khalayak ramai, ini adalah hal yang telah dipikirkannya secara khusus.

“Aku tidak peduli,” ujarnya.

“Aku mencintaimu dan aku ingin bersamamu. Aku sangat jelas untuk ini. Ini sangat penting bagiku. Aku tidak peduli jika ada hal yang tidak sesuai dengan dunia yang sesungguhnya—tentu saja ini tidak akan sesuai. Aku sangat mencintaimu. Aku tergila- gila padamu…”

Perempuan itu menggelengkan kepalanya, semacam mengatakan, “Itu tidak akan membantu.”

Lalu mengelus rambut lelaki itu dan bertanya, “Apakah kamu benar- benar berpikir kita tahu hal terutama tentang cinta? Cinta kita tidak pernah diuji. Kita masih kanak- kanak, aku dan kamu.”

Ia terlalu cemas untuk mengatakan apapun. Sekali lagi, ia tidak dapat menghancurkan dinding yang mengungkungnya. Ia terlalu cemas dengan ketidakmampuannya. Aku tidak dapat melakukan apa- apa, pikirnya. Jika semuanya terus berjalan seperti ini, aku mungkin akan terus hidup dalam kotak selama bertahun- tahun yang tidak berarti.

***

KEDUANYA tetap bersama hingga lulus SMA. Bertemu di perpustakaan, belajar bersama, bercumbu dengan pakaian yang tidak dilepaskan. Perempuan itu berpikir tidak ada yang salah, nyatanya ia menikmati itu. Sementara semua orang membayangkan bahwa mereka—Tuan dan Nona Rapi—tengah menjalani kehidupan remaja yang sempurna, lelaki itu sendiri merasa tidak nyaman.

Akhirnya, pada musim semi tahun 1967 ia pergi untuk belajar di Universitas Tokyo. Perempuan itu menetap di Kobe, dimana ia melanjutkan pendidikan ke universitas perempuan yang bergengsi. Itu adalah universitas yang berperingkat baik diantara yang lainnya, dan menjadi tantangan yang sulit baginya. Perempuan itu dapat masuk dengan mudah ke Universitas Tokyo, namun ia bahkan tidak mengikuti ujian masuknya. Baginya, pendidikan seperti itu tidak perlu.

“Aku tidak akan bekerja untuk Kementrian Keuangan. Aku perempuan—dan hal- hal menjadi berbeda untukku. Kamu akan pergi jauh, tapi aku hanya akan melakukan segalanya dengan tenang selama empat tahun ini. Sebuah awal, semacam akhir dari peristirahatan. Karena begitu aku menikah, aku tidak dapat bekerja.”

Tingkahnya membuat lelaki itu kecewa. Ia telah berharap bahwa keduanya akan berangkat ke Tokyo bersama dan membangun hubungan mereka ke arah yang baru. Ia membujuk perempuan itu untuk memikirkan ulang hal itu, namun perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya.

Pada musim panas setelah tahun pertamanya di universitas (musim panas yang sama ketika kami bertemu di sekolah mengemudi), ia pulang ke rumahnya di Kobe, dan menemui pacarnya nyaris setiap hari. Mereka berkendara ke tempat yang jauh dan saling bercumbu, seperti yang biasa dilakukan dulu. Namun ia tidak dapat berhenti memperhatikan perubahan yang secara perlahan terjadi di antara mereka. Perubahan itu tidak terlalu kentara. Di sisi lain, beberapa hal masih sama seperti dulu. Cara perempuan itu berbicara, berpakaian dan pendapatnya—nyaris semua mengenainya masih saja seperti dulu. Namun lelaki itu tidak ingin larut dalam masa lalunya. Itu adalah hukum perubahan: sedikit demi sedikit, pengulangan atas pengulangan, keduanya akan terperangkap dalam keselarasan. Dan itu tidak akan terlalu buruk, jika ia tahu kemana ia harus mengulurnya.

Ia kesepian di Tokyo dan sulit untuk berteman. Kota itu menyesakkan dan kumuh, makanannya pun tidak enak. Ia memikirkan pacarnya secara terus menerus. Pada malam hari, ia mengurung diri dalam kamar dan menulis surat untuk pacarnya. Perempuan itu pun membalas suratnya (meskipun tidak terlalu sering), menceritakan tentang kesehariannya, yang terus dibaca lelaki itu berulang kali; barangkali tanpa surat itu ia sudah kehilangan kewarasannya. Ia tidak bisa berhenti merokok dan mulai sering mabuk. Sesekali ia pun tidak masuk kelas.

Ia tidak sabar menanti libur musim panas agar dapat segera pulang ke Kobe. Namun ketika berada di sana, ia justru lebih murung. Ia hanya pergi selama tiga bulan, dan anehnya segala sesuatu tampak tak terawat dan kosong. Kota yang sangat dirindukan tampak seperti kota yang tengah karam, semacam kota yang sibuk melayani diri sendiri seperti kota di provinsi lainnya. Berbicara dengan ibunya terasa aneh. Memotong rambut di tempat langganannya sejak kecil tidak membuatnya lebih baik. Air mancur yang biasa disinggahinya dengan anjing peliharaan setiap hari tampak tidak lebih seperti tempat sampah.

Bahkan mengunjungi pacarnya pun tidak dapat menyalakan semangatnya. Apa yang salah dengannya? Tentu ia masih mencintai pacarnya, namun itu belum cukup. Gairah tidak dapat selamanya dikendalikan. Sesekali ia harus menyelesaikan hal itu dengan tangannya sendiri. Ia merasa harus mengeluarkan pertanyaan seksual itu dari lemari pikirannya yang dingin dan menyajikannya lagi. Ini adalah kesempatan terakhir.

“Tiga bulan terakhir ini di Tokyo aku tidak memikirkan apapun kecuali kamu. Aku tentunya sangat mencintaimu. Sejauh apapun kita terpisah, perasaanku tidak pernah berubah. Namun aku pun merasa tidak aman saat kita jauh. Aku menjadi murung. Barangkali kamu tidak memahami hal ini, namun aku tidak pernah merasa sangat kesepian seperti ini selama hidupku. Aku membutuhkan keterikatan yang sesungguhnya denganmu, sesuatu yang menjamin sejauh apapun kita berada satu sama lain, namun tetap terhubung dengan kuat.”

Perempuan itu menghela nafas panjang dan menciumnya dengan sangat lembut.

“Maaf,” pintanya. “Aku tidak dapat menyerahkan keperawananku. Ini akan tetap begini dan itu akan tetap begitu. Aku dapat melakukan apapun untukmu, apapun kecuali itu. Jika kamu mencintaiku, tolong jangan bahas itu lagi.”

Sekali lagi, lelaki itu membahas mengenai pernikahan.

“Ada dua perempuan yang sudah bertunangan di kelasku,” ujarnya pada lelaki itu.

“Namun tunangan mereka sudah mempunyai pekerjaan yang mapan. Pernikahan itu berarti tanggungjawab.”

“Aku dapat bertanggungjawab,” tukas lelaki itu dengan yakin. “Aku kuliah di universitas terbaik, dan aku aku berjanji akan mendapatkan nilai yang baik pula. Perusahaan dan kantor pemerintah manapun akan memintaku bekerja untuk mereka. Aku akan bekerja di mana saja sesuai dengan kemauanmu. Aku dapat melakukan apapun jika aku menginginkannya. Lalu apa yang menjadi masalahnya?”

Ia memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya di kursi lalu terdiam. “Aku takut,” bisiknya beberapa saat kemudian, lalu menutupi wajah dengan telapak tangannya dan terisak. “Aku sangat takut. Sangat takut sehingga aku tidak dapat menolong diriku sendiri. Aku takut akan hidup, takut untuk mengalami kehidupan yang sesungguhnya. Dalam beberapa tahun lagi, aku akan menghadapi dunia yang nyata, dan aku merasa terancam. Mengapa kamu tidak dapat memahami ini? Mengapa kamu harus menyiksaku seperti ini?”

Lelaki itu memeluk pacarnya. “Tidak ada yang perlu kamu takuti. Aku di sini. Lihat aku. Aku pun takut seperti kamu. Namun jika kita bersama, aku tahu kita dapat menghadapinya. Jika kita mengumpulkan keberanian, tidak ada yang perlu kita takuti, tidak satu hal pun samasekali.”

Perempuan itu menggelengkan kepalanya. “Kamu tidak paham. Aku perempuan. Aku bukan kamu. Kamu tidak paham tentang hal ini. Tidak satu hal pun.”

Tidak ada ucapannya yang membuat keadaan menjadi lebih baik. Perempuan itu terus menangis. Dan ia menyampaikan hal yang sangat aneh.

“Bahkan jika kita putus, aku akan tetap mengingatmu selamanya. Terus terang aku tidak akan lupa. Kamu tahu bagaimana aku menyukaimu. Kamu adalah orang pertama yang aku perhatikan dengan sungguh- sungguh. Dan aku bahagia bersamamu. Tolong pahami ini. Jika kamu menginginkan aku mengikat janji denganmu, aku bersedia. Aku akan tidur denganmu. Tapi tidak sekarang. Setelah aku menikah aku akan tidur denganmu. Aku berjanji.”
***

“APA maksudnya? Kata- katanya itu membuatku cemas,” ujarnya.

Pelayan kemudian datang dan menyajikan primi piatti pesanan kami dan meletakkan kayu bakar di perapian. Pasangan separuh baya di meja seberang tengah sibuk menentukan makanan penutup. “Aku tidak mengerti. Aku pulang ke rumah dan kata- katanya bermain berulang kali dalam pikiranku, tapi aku tidak bisa mencerna alasannya. Apa itu cukup masuk akal bagimu?”

“Aku rasa maksudnya adalah ia ingin menjaga keperawanannya hingga malam pertama, karena setelah menikah keperawanan bukan lagi hal yang penting, dan ia dapat berhubungan denganmu. Kira- kira semacam itu.”

“Yah. Sesuatu semacam maksudmu itu. Hanya itu yang dapat kupahami.”

“Unik, menurutku. Dan cukup masuk akal di satu sisi.”

Ia mengulum senyum. “Benar, memang cukup masuk akal.”

“Pengantin yang masih perawan, istri yang menyimpan hubungan gelap. Seperti novel klasik Prancis. Tapi tanpa ruang dansa dan dayang- dayang.”

“Dan baginya itu adalah satu- satunya jalan keluar yang tepat,” ujar lelaki itu.

“Menyedihkan,” lanjutku.

Ia menatapku dengan seksama dan mengangguk perlahan. “Ya, menyedihkan. Bahkan terlalu menyedihkan sesungguhnya. Kamu telah mengetuk kepalaku dengan martil,” ujarnya.

“Sekarang aku pun berpikir begitu. Aku sudah melalui masa menuju kematanganku. Namun saat itu belum, aku tidak melihatnya seperti itu. Aku masih kanak- kanak, dan pandanganku teramat gelap untuk memahami kegelisahan dalam pikiran orang lain. Segalanya hadir seperti kejutan—yang melemparkanku pada kebingungan.”

“Aku dapat membayangkan itu,” imbuhku.

Lalu kami menyantap tartufi bersamaan.

***

“SELANJUTNYA aku mulai tahu apa yang akan terjadi,” tiba- tiba ia berkata setelah hening sesaat.

“Aku dan dia putus. Tidak ada yang datang dan menjelaskan apapun. Semuanya hadir seperti akhir yang alamiah. Sangat menentramkan. Kami lelah mempertahankan hubungan itu. Aku memperhatikan gagasannya tentang hidup itu seperti… Bagaimana harus kujelaskan? Tidak, ia tidak berusaha mewujudkannya seperti sesuatu yang perlu dihormati. Bukan seperti itu. Maksudku, ia dapat melakukannya dengan lebih baik. Aku kecewa dengannya. Keperawanan, pernikahan—ketimbang menderita dengan hal- hal kolot semacam itu, seharusnya ia dapat melakukan sesuatu yang lebih berarti untuk hidupnya.”

“Namun itu melampaui kemampuan dirinya.”

Ia mengangguk. “Mungkin,” tukasnya sambil mengunyah pelan irisan daging dan jamur.

“Hal semacam itu terjadi. Kamu kehilangan kemampuan untuk berdamai dengan masalah. Ada masa ketika kamu tertekan hingga batas yang tidak bisa kamu lampaui. Hal yang sama terjadi pernah terjadi padaku. Sejak kanak- kanak, aku dan dia telah terikat dengan keadaan yang penuh tekanan dan arahan—terus maju, jadilah yang terdepan. Sehingga kamu menjadi sangat terlatih, telah terbentuk sedemikian rupa, kamu hanya dapat melakukan apa yang diperintahkan.”

“Tunggu. Bagaimana kamu menyelesaikannya?” tanyaku.

“Aku telah melaluinya,” jawabnya setelah berpikir sejenak. Lalu ia merapikan garpu dan pisaunya, membersihkan mulutnya dengan saputangan. “Setelah aku dan dia putus, aku memiliki pacar di Tokyo. Perempuan yang baik. Kami tinggal bersama untuk sementara. Dan jujur saja, tidak ada kesulitan dan kecemasan seperti hubunganku dengan Yoshiko Fujisawa. Hubungan itu terasa jujur dan aku menyukainya. Ia mengajariku banyak hal tentang manusia yang sesungguhnya dan aku mulai berteman dengan banyak orang. Aku menjadi tertarik dengan politik. Aku belajar bahwa kenyataan hadir dalam segala rupa dan ukuran. Dunia ini cukup besar untuk keberadaan nilai- nilai yang berbeda. Tidak ada kebutuhan umum untuk menjadi mahasiswa yang terhormat. Dan dengan begitu aku dapat berpijak pada lingkungan sekitar.”

“Lalu menjadi sukses.”

“Cukup sukses,” ujarnya menyerupai keluhan. Lalu menatapku tajam seperti rekan persekongkolannya. “Bandingkan dengan orang sepantaran kita lainnya, harus kuakui pendapatanku lebih tinggi.” Hanya itu yang ia sampaikan.

Namun aku tahu itu bukan akhir dari ceritanya, jadi aku tidak mengatakan apa- apa. Aku menunggu ia melanjutkan ceritanya.

“Aku tidak bertemu Yoshiko Fujisawa untuk cukup lama. Cukup lama. Aku lulus dari universitas dan bekerja untuk firma dagang. Aku bekerja di sana selama lima tahun, separuhnya dengan penempatan di luar negri. Aku bekerja setiap hari dan sangat sibuk. Dua tahun setelah kuliah, aku diberitahu ibunya bahwa Yoshiko menikah, tapi aku tidak menanyakan dengan siapa. Hal pertama yang terlintas di benakku adalah bahwa ia masih perawan hingga malam pertamanya. Lalu aku menjadi agak sedih. Dan agak lebih sedih keesokan harinya. Itu menjadi semacam akhir dari suatu masa, sebuah pintu tertutup untuk selamanya. Yah, tentu saja. Dia adalah perempuan yang sangat dan selalu aku cinta. Kami saling menyayangi selama empat tahun, aku bahkan berpikir tentang pernikahan. Ia adalah sosok yang banyak menentukan masa mudaku, dan itu membuatku sedih. Tapi, baiklah. Aku berharap ia bahagia. Aku berharap ia mendapatkan yang terbaik untuk dirinya. Aku—yah, sedikit khawatir terhadapnya. Ia pun memiliki sisi yang rapuh.”

Pelayan datang, mengambil piring makan dan kami memesan kopi.

“Aku menikah agak terlambat, saat umurku tigapuluhdua. Jadi aku masih melajang saat menerima telepon dari Yoshiko. Aku masih berumur duapuluhdelapan. Yang berarti sepuluh tahun yang lalu. Aku keluar dari perusahaanku dan bekerja mandiri. Ayahku meminjamkan modal dan aku memulai usahaku sendiri. Aku memperhatikan potensi pertumbuhan pasar untuk perabotan impor dan aku melangkah dengan benar. Tapi untuk permulaan bagi apapun, tidak ada yang berjalan mulus. Pengiriman tertunda, persediaan yang tidak mencukupi, sewa gudang yang mahal, dan tagihan bank yang mencekik leher—terus terang aku sudah tidak mampu mengurusi diri sendiri dan nyaris kehilangan harapan. Barangkali itu adalah masa tersulit dalam hidupku. Dan tepat pada saat itu dia menghubungiku. Aku tidak tahu darimana ia mendapat nomorku. Saat itu telepon berdering pukul delapan malam. Aku langsung mengenali suaranya. Itu adalah hal yang tidak pernah terlupakan. Aku merasakan nostalgia yang menggelitik. Rasanya sangat nyaman mendengar suara dari pacar lama di saat yang sulit seperti itu.”

Ia terpaku menatap perapian, seakan berusaha mengingat sesuatu. Restoran itu riuh. Orang- orang berbicara dan tertawa di setiap meja, peralatan makan dan gelas berdenting.

“Aku tidak tahu siapa yang mengabarinya tentang aku, namun ia tahu semua yang terjadi padaku. Maksudku, semuanya. Ia tahu aku masih melajang dan telah ditempatkan di luar negri, aku keluar dari perusahaan dan membangun usahaku sendiri. Ia tahu itu semua. ‘Kamu dapat melaluinya, kamu adalah lelaki yang bisa-melakukan-apapun. Kamu harus percaya diri,’ katanya padaku. Aku tidak dapat menjelaskan bagaimana kebahagiaan yang kurasakan saat mendengar kata- katanya. Lalu aku bertanya padanya. Yah, lelaki seperti apa yang dinikahinya, apakah mereka memiliki anak, dan tempat tinggal mereka. Ia tidak memiliki anak. Suaminya empat tahun lebih tua dan bekerja untuk siaran televisI. Seorang sutradara, jelasnya. Aku mengatakan, ‘Sepertinya ia selalu sibuk.’ ‘Ia sangat sibuk. Tentu saja. Terlalu sibuk bahkan untuk memiliki anak,’ lanjutnya dan tawanya berderai. Mereka tinggal di Tokyo, di apartemen daerah Shinagawa. Aku tinggal di Shiroganedai. Tidak bertetangga, namun cukup dekat. ‘Aneh ya rasanya mendapati hal- hal berjalan seperti ini?’ ujarku. Kami berbicara tentang hal yang biasa kami bicarakan sewaktu masih di sekolah dulu. Rasanya kaku sekaligus manis. Seperti dua teman lama yang saling menanyakan kabar. Kami berbicara selama berjam- jam. Lalu kami tidak tahu harus mengatakan apalagi. Benar- benar… bagaimana harus kujelaskan? Keheningan yang ganjil, yang mengundang segala pikiran untuk mengusik.” Ia meletakkan tangannya di taplak meja, lalu bersitatap denganku. “Seharusnya aku menutup telepon saat itu. ‘Terimakasih sudah menelpon, menyenangkan sekali berbicara denganmu’—klik, selesai. Kamu paham maksudku?”

“Itu adalah hal yang paling mungkin dilakukan,” aku mengiyakan.

“Tapi ia masih menunggu di ujung panggilan sana. Ia mengajakku ke tempatnya. Semacam, ‘Kenapa tidak mampir kemari? Suamiku sedang sibuk dengan pekerjaannya. Aku bosan ditinggal sendiri.’ Yah, aku tidak tahu harus mengatakan apa, lalu aku terdiam. Ia pun tidak mengatakan apapun. Hening lagi. Tiba- tiba, kamu tahu apa yang dikatakannya? ‘Aku masih ingat pada janjiku.’”

***

“AKU masih ingat pada janjiku.”

Pada awalnya, ia mengaku tidak paham apa yang diucapakan perempuan itu—ia tidak pernah menganggap itu adalah janji sungguhan. Ia mengira itu hanyalah basa basi dan membuat perempuan itu kebingungan.

Tidak, perempuan itu tidak kebingungan. Baginya, janji adalah janji.

Sejenak lelaki itu kehilangan arah akan segala hal yang dituju. Apa yang seharusnya dilakukan? Ia menatap sekitar dan tidak ada dinding yang mengungkungnya untuk memberi arahan. Tentu saja ia ingin tidur dengan perempuan itu, yang pergi begitu saja. Sejak putus, ia terus membayangkan tidur dengan perempuan itu. Bahkan saat sedang dengan perempuan lain, ia membayangkan Yoshiko dalam kegelapan. Meskipun ia tidak pernah melihatnya telanjang, ia tahu badannya dari sentuhan di balik pakaian.

Ia tahu betapa beresikonya tidur dengan perempuan itu pada saat seperti ini. Ia tidak ingin mengungkit apa yang telah ditinggalkannya dengan tenang dalam bayang masa silam. Intuisinya mengatakan untuk tidak melakukan hal itu. Tapi ia tidak dapat menolaknya. Kenapa harus menolak? Bukankah ini adalah dongeng yang sempurna? Keinginan yang hanya terkabul sekali seumur hidup. Perempuan itu tinggal cukup dekat dan ingin menepati janji dari belantara masa silam.

Ia memejamkan mata dan tidak dapat mengatakan apapun. Ia tidak mampu berbicara.

“Halo?” suara perempuan itu terdengar di telepon. “Kamu masih di sana?”

“Aku akan datang sekarang,” tukasnya. “Dimana alamatmu?”

***

“APA yang dapat kamu lakukan?” ia bertanya padaku.

Aku menggeleng. Aku tidak pernah tahu cara menjawab pertanyaan semacam itu.
Ia tertawa dan menatap cangkir kopi yang berada di meja. “Aku pergi ke tempatnya. Aku mengetuk pintu. Di satu sisi aku berharap ia sedang tidak di rumah. Tapi dia ada, dan masih saja cantik seperti dulu. Ia menawarkan minuman dan kami berbincang tentang hari- hari yang lalu. Kami bahkan mendengar lagu- lagu lama. Lalu apa yang kamu bayangkan akan terjadi?”

Aku tidak tahu.

“Ketika kanak- kanak, aku pernah membaca sebuah cerita. Aku lupa bagaimana alurnya, tapi aku masih mengingat akhirnya. Begini, ‘Dan ketika semua berakhir, Raja dan pengikutnya mengaum sambil tertawa.’ Semacam cara yang aneh untuk mengakhiri cerita, bukankah begitu?”

“Benar,” ujarku.

“Aku berharap agar dapat mengingat keseluruhan cerita itu. Demi Tuhan, aku telah mencoba. Namun yang kuingat hanya akhirnya yang aneh: ‘Dan ketika semua berakhir, Raja dan pengikutnya mengaum sambil tertawa.’ Akhir cerita macam apa itu?”

Lantas kami meneguk kopi.

“Kami berpelukan,” ucapnya lagi.

“Tapi aku tidak tidur dengan dia. Dia tidak membuka bajunya. Kami menggunakan tangan, seperti dulu. Aku merasa itu adalah hal yang terbaik. Dan ia pun merasakan hal yang sama. Kami bercumbu cukup lama, tanpa mengucapkan apapun. Apa yang seharusnya kami ucapkan? Itulah satu- satunya cara kami dapat saling mengenali satu sama lain setelah bertahun- tahun. Ketika di sekolah dulu tentu saja hal itu berbeda. Rasanya hambar, biasa, hubungan seksual barangkali akan menciptakan semacam perasaan saling memahami. Dan barangkali kami akan bahagia bersama. Namun kami telah meninggalkan masa itu. Masa itu telah tertutup rapat dan tidak dapat dibuka oleh siapapun.”

Ia memainkan cangkir kopinya yang kosong. Ia terus memainkannya agar pelayan datang, namun hal itu membuatnya meletakkan cangkir pada posisi semula dan memesan espresso.

“Aku berada di sana selama sejam. Lebih lama dari itu barangkali aku akan kehilangan kewarasanku,” ujarnya sambil tersenyum. “Aku mengucapkan selamat tinggal dan meninggalkannya. Ia juga mengatakan selamat tinggal dan kali ini adalah perpisahan yang sesungguhnya, sekali untuk selamanya. Aku dan dia tahu itu. Kali terakhir aku melihatnya, ia berdiri di pintu sambil menyilangkan lengannya. Ia menatapku seakan ingin mengatakan sesuatu. Aku tahu apa yang akan dikatakannya. Tapi aku lelah… ada sebuah relung dalam diriku, aku merasa kosong. Aku berjalan tanpa tujuan, merasa sia- sia seumur hidupku. Aku ingin kembali ke tempatnya dan berteriak keras- keras. Tapi aku tidak dapat melakukan itu, pun itu tidak akan membuat segalanya menjadi lebih baik.”

Ia menggeleng dan menyeruput espresso yang kedua.

“Ini adalah hal yang memalukan. Tapi aku keluar dan mencari pelacur. Itu adalah kali pertama dan terakhir seumur hidup.”

Aku menatap cangkir kopiku dan berpikir betapa tertutupnya diriku dulu. Aku ingin membiarkannya tahu apa yang aku pikirkan, tapi aku ragu dapat menjelaskannya dengan baik.

“Bercerita seperti ini membuatku merasa seperti membicarakan orang lain,” lanjutnya sambil tertawa kecil. Ia terdiam kemudian.

“‘Dan ketika semua berakhir, Raja dan pengikutnya mengaum sambil tertawa,’” ucapnya tiba- tiba.

“Kalimat itu selalu hadir ketika aku mengingat masa itu. Refleks saja, barangkali. Aku tidak tahu apa itu, tapi kesedihan agaknya selalu mengandung sedikit lelucon ganjil.”

***
SEPERTI yang kukatakan sejak awal, tidak banyak petuah baik dari cerita ini. Bagaimanapun, ini adalah cerita dari hidupnya dan cerita dari hidup kami semua di masa itu. Yang membuatku tidak bisa tertawa ketika mendengarnya dan masih saja tidak bisa hingga kini.

***
Diterjemahkan dari The Folklore of Our Times karya Haruki Murakami.


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a comment