Ketika saya terpilih menjadi kandidat pertukaran pelajar Bina Antarbudaya -American Field Service (AFS) pada tahun 2008, saya merasa bahwa hal itu adalah pencapaian terbesar yang paling mungkin diraih oleh pelajar sekolah menengah seperti saya.
Di Swiss, saya tinggal bersama keluarga Mathys. Saya tidak bisa berbahasa Jerman, bahasa yang digunakan di Kanton Zuerich. Rumah keluarga Mathys berada di Steg im Toesstal, kota kecil yang dihuni tidak lebih dari dua ratus orang di kaki pegunungan Alpen.
Bulan pertama dan kedua adalah masa penyesuaian diri. Saya tidak bisa berbahasa Jerman, sementara hanya Mama yang agak fasih berbahasa Inggris. Tidak ada televisi dan internet di rumah. Keluarga angkat saya penganut agama Kristen yang mengikuti satu aliran cukup fanatik, sehingga karena alasan tertentu dalam agama, mereka tidak menggunakan teknologi semacam itu. Mama bekerja sebagai misionaris, Papa bekerja sebagai pengajar kemudi. Kedua kakak saya, Easter dan Rachel, lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Saat itu, saya berpikir, keadaan pasti akan lebih membaik jika masa sekolah sudah dimulai.
Pikiran saya tidak sepenuhnya benar, meski tidak dapat disalahkan samasekali. Seluruh teman sekelas saya adalah perempuan, yang telah saling kenal sejak di tahun pertama. Hanya sedikit di antara tigapuluh teman sekelas saya yang bisa berbicara bahasa Inggris. Lagi-lagi, saya gelagapan ketika diajak berbicara dalam bahasa Jerman. Di sisi lain, saya menyukai sekolah ini karena menyediakan banyak buku dan film yang sulit saya temukan di Aceh.
Pada akhirnya, buku dan film tersebut yang menolong saya untuk bertahan di bulan-bulan selanjutnya. Kesulitan komunikasi saya semakin parah menjelang musim dingin. Mama selalu menyimpulkan segala sesuatu dengan perspektif agama, sehingga saya yang beragama Islam seringkali disudutkan. Kedua kakak saya lebih sering membiarkan saya sendiri di rumah dan sangat jarang berbicara pada saya. Teman-teman di sekolah juga sulit diajak berbagi. Ada jarak yang begitu jauh ketika harus mulai berinteraksi dengan orang-orang. Saya menyesal tidak belajar bahasa Jerman sebelum berangkat ke Swiss. Saat itu, saya merasa sangat sendiri dan terasing. Kadang-kadang, saya menggunakan telpon rumah untuk menghubungi keluarga saya di Aceh dan menangis karena merasa gagal beradaptasi. Tagihan telepon sempat membengkak, saya harus menyisihkan uang beasiswa dan meminta dikirimkan uang oleh orangtua untuk urun bayar.
Hingga menjelang akhir program, keadaan tidak semakin membaik. Oleh pihak AFS, saya dipulangkan dua minggu lebih awal dari jadwal kepulangan resmi. Saya menangis panjang ketika pesawat lepas landas di bandara Zuerich. Rasanya seperti terjaga dari mimpi buruk.
Setelah pulang dari Swiss, saya mulai tidak bersemangat untuk melakukan banyak hal. Saya merasa gagal memenuhi gambaran ideal mengenai pertukaran pelajar. Saya malas belajar, tidak tertarik mengikuti kegiatan apapun dan cenderung menarik diri dari pergaulan. Saya malu pada orang-orang yang telah berharap banyak pada saya, pada orang-orang yang pernah kagum pada sedikit pencapaian saya, pada orangtua dan teman-teman yang berpikir saya baru saja melalui tahun pertukaran pelajar yang hebat.
Pada titik tersebut, saya mulai memikirkan ulang motif-motif yang melatari ambisi dan pencapaian-pencapaian saya. Sebenarnya apa yang tengah saya cari? Dalam satu bagian di film dokumenter “Anak Sabiran: Di Balik Cahaya Gemerlapan”, sastrawan Seno Gumira Ajidarma dengan agak sinis berceletuk,
“Kalau orang sekarang itu kan kalau ngomong, ‘kita harus bermimpi!’, ‘Bawalah mimpimu!’ Tapi impiannya apa sih? Paling-paling sukses, kan? Dan sukses itu, selalu harus ada kaya-nya, atau ada terkenalnya.”
Dalam hati, saya tertawa miris mendengar ucapan itu. Ya, ketika mengikuti program AFS itu bisa jadi saya hanya ingin diakui “sukses” dalam ukuran yang dipatok oleh orang-orang di sekitar. Dan untuk menjadi “sukses” di mata orang-orang, saya membayar dengan harga yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Saya tidak ingin hidup dengan ukuran “kesuksesan” semacam itu.
Saya sangat bersyukur memiliki teman-teman dan keluarga yang bersedia menemani saya melalui proses yang melelahkan setelah pulang dari Swiss. Saya belajar untuk menjadi lebih jujur pada diri sendiri dan menjalani pilihan-pilihan yang tidak populer dengan berani. Ketika memulai masa studi di Fakultas Filsafat UGM, secara perlahan saya mulai merumuskan ulang cara pandang dan prinsip-prinsip. Di saat yang bersamaan, saya terus ditantang untuk mengatasi dinamika ketika berhadapan dengan orang-orang baru dan menjelajahi tempat-tempat yang asing.
Saya lebih senang menandai pengalaman pertukaran pelajar di Swiss sebagai titik balik untuk membenahi diri. Saat ini, saya kembali memiliki minat dan rasa ingin tahu yang besar pada bidang studi, menikmati proses belajar, juga tetap bersemangat untuk berbagi banyak hal dengan orang-orang baru, dengan berbagai cara. Berada pada keadaan seperti hari ini, bagi saya adalah suatu “kesuksesan” yang lebih melegakan.
Esai ini bagian dari proses aplikasi BPI-LPDP 2015
Leave a comment