Orang Asing

Ini adalah Yanik Sousa. Ia adalah perempuan berumur enam belas tahun dan berada di tahun pertama sekolah menengah atas. Setiap pagi Yanik berangkat ke sekolah dengan menumpangi bus yang melewati halte di dekat rumah susun yang ditempatinya bersama Mama. Yanik dan Mama berada di kota ini sejak awal tahun lalu setelah membayar mahal kepada seorang  agen yang menyebrangkan mereka melalui selat dari tanah asal.

Di tanah asal, tidak ada yang membuat Mama ingin menetap lebih lama. Papa meninggal saat sedang mengantri membeli minyak tanah, orang- orang menyebutnya sebagai murni tindakan kriminal, namun Mama mengatakan ada orang- orang yang tidak suka dengan usaha peternakan kambing yang dikelola Papa. Kematian Papa membuat Mama dan Yanik bersusah payah mengelola peternakan kambing, memerah susunya setiap hari dan memastikan kambing- kambing itu memperoleh rumput yang segar. Suatu hari, setelah Yanik pulang sekolah, Mama berkata dengan agak main- main,

“Ayo kita pindah, aku tidak ingin lagi tinggal di sini.”

Yanik tidak menghiraukan perkataan Mama saat itu dan menggantungkan baju seragamnya di belakang pintu. Tapi ternyata keesokan harinya, ia tidak lagi mengenakan baju seragamnya, lantas mengepak pakaian yang ada di lemari dan pamit kepada seluruh kerabat di kampung dan beberapa temannya di sekolah. Kambing- kambing dijual Mama kepada seorang peternak lain yang sudah lama memulai usaha semacam itu. Mereka berjalan kaki menuju rumah agen dan Mama mengatakan,

“Kita tidak akan memperoleh hidup yang lebih baik di tanah ini. Kita harus menyebrangi selat dan hidup di tanah seberang. Apa kau pernah mendengar berita baik dari tanah kita? Tidak, yang setiap hari kita dengar hanyalah berita buruk tentang orang yang mati kelaparan, wabah penyakit yang tidak bisa disembuhkan dan semua kemalangan ini adalah kutukan akibat ulah leluhur kita. Kau harus sekolah dan hidup di tempat yang lebih baik, tanpa perlu menghiraukan kekurangan air saat kemarau atau peluru nyasar saat sedang menggembala kambing.”

Yanik tersungut- sungut mendengar perkataan Mama dan berusaha untuk membiarkan segalanya tertinggal di tanah asal: pekerjaan sekolah yang belum selesai, permainan dengan orang- orang di kampung dan rumah yang memeliharanya selama ini. Setelah tiga hari mengurus semua perizinan dan membicarakan berbagai kemungkinan yang akan terjadi saat menyebrangi selat menuju tanah seberang, Yanik dan Mama bernasib baik sampai di tempat yang mereka pilih dan diantarkan ke rumah susun yang berisi orang- orang seperti mereka, yang juga ingin memperoleh hidup yang lebih baik.

Mama memulai segalanya di tanah seberang dengan bekerja sebagai penunggu rumah- rumah orang saat bekerja, menjaga anak- anak mereka, memasak dan membersihkan rumah sehingga baru pulang setelah pukul lima sore. Awalnya, Yanik ikut membantu Mama sehingga memperoleh penghasilan yang cukup untuk membayar biaya rumah susun, membeli susu dan roti untuk sarapan pagi, juga menabung untuk biaya masuk ke sekolah menengah atas di kota ini.

Sesekali Yanik dan Mama mengendap- endap mengambil roti, sayur, buah dan makanan siap saji yang ditumpuk di tempat pembuangan di belakang pusat perbelanjaan. Bukan makanan- makanan yang tersisa, tapi makanan yang mendekati tanggal kadaluarsa, kata Mama saat pertama kali mengajak Yanik mengambil makanan itu di malam yang larut. Yanik bergidik ngeri, ternyata selama ini aku menelan makanan- makanan yang hampir basi!

Pagi ini Yanik tidak menyentuh bekal makan siang yang sudah disiapkan Mama. Bukan karena khawatir Mama mengolah makanan- makanan yang nyaris basi menjadi lauk makan siangnya, ia hanya tidak ingin menghabiskan makan siang di kantin sekolah.

Sebelum Yanik berangkat ke sekolah, Mama menyiapkan bekal makan siang dalam wadah kotak berwarna merah muda dengan karet gelang yang melingkarinya agar lauk di dalam tidak tumpah. Setiap hari Selasa dan Jum’at, Yanik belajar di sekolah sampai jam lima sore, dan saat istirahat makan siang, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk pulang ke rumah. Mama pun tidak memberinya cukup uang untuk membeli makan siang, maka tiap hari Selasa dan Jum’at, Yanik mengantongi bekal makan siang yang sudah disiapkan Mama.

“Apa yang salah? Ini bekal makan siangmu,” kata Mama sambil menyodorkan kotak bekal ke arah Yanik yang sedang memakai sepatu.

Mama balik ke kamarnya, dan Yanik buru- buru berangkat sekolah tanpa pamit dan meninggalkan kotak bekalnya di atas meja. Yanik berjalan kaki menuju halte, membeli karcis lalu menunggu bus kota yang menuju ke sekolahnya. Ini adalah pertengahan semester satu dari tahun pertamanya di sekolah menengah atas, dan selama nyaris lebih dari tiga bulan ia tidak mempunyai teman akrab.

Yanik mengingat hari- hari pertama di sekolah, saat ia memperkenalkan diri di muka kelas. Seluruh mata memandang ke arahnya, mendengarkan ia berbicara dengan aksen yang dipaksakan dan mengamati setiap hal yang dilakukannya. Pada hari itu, Ibu Miranda yang tengah mengajar kelas fisika menyuruhnya duduk dengan seorang perempuan berambut coklat gelap di sudut kelas. Yanik tersenyum dan perempuan itu menyodorkan tangannya sambil berkata,

“Namaku Melissa, dengan dua s yang mendesis. Senang berkenalan denganmu,”

Yanik tersenyum sungkan dan bercerita bahwa seharusnya ia berada di tingkat dua sekolah menengah atas, hanya saja begitu sampai di kota ini ia harus menyesuaikan diri terlebih dulu selama kurang lebih setahun. Melissa menanggapi dengan bertanya,

“Oh ya? Apakah orangtuamu bekerja di sini?”

“Mama bekerja sebagai penjaga rumah dan pengasuh anak, tapi sekarang ia sedang mencari pekerjaan yang pasti. Papa sudah meninggal karena ditembak, dulu kami mempunyai peternakan kambing, tapi Mama menjual semuanya agar kami bisa tinggal di sini,”

“Oh, ya ampun,” ucap Melissa lalu beralih mengerjakan soal- soal fisika. Yanik tidak mengerti bagaimana melanjutkan percakapan itu dengan Melissa, dan mengira- ngira apakah ia baru saja menceritakan hal yang tidak pantas sehingga Melissa langsung beralih mengerjakan soal fisika.

Saat jam istirahat makan siang, Melissa mengajak Yanik untuk bergabung dengan teman- teman sekelasnya di kantin. Mereka mengenakan pakaian yang berwarna- warni, berbicara dengan lantang dan sesekali tertawa renyah. Sebelum masuk sekolah, Yanik sering melihat beberapa anak perempuan sepantarannya berjalan bergerombolan di kedai minuman atau ketika berada dalam bus kota. Mereka selalu mempunyai cerita yang menarik dan bisa menanggapi dengan jenaka. Di meja kantin yang penuh dengan teman- teman sekelasnya, Yanik berusaha mengendalikan perasaan gugup sambil menyimak obrolan di antara teman- temannya.

“Kau tahu, Rahel dan Eshter ini jago bermain sepakbola!”

“Ibu Miranda itu cerewet sekali, kau harus selalu menjawab pertanyaan yang diajukannya tiba- tiba,”

“Yaampun! Itu Rafael, kenapa dia bergandengan tangan dengan Eva?”

Tidak ada yang mengajak Yanik berbicara, dan ia merasa sungkan untuk memulai. Harus berbicara tentang apa? Maka, Yanik berusaha menyimak potongan percakapan dengan hati- hati agar bisa memberi tanggapan yang baik. Ia tidak ingin menciptakan kesan buruk di hari pertama sekolah. Hingga separuh jam istirahat makan siang, tetap saja tidak ada yang tertarik untuk menyapa Yanik. Melissa sempat mengatakan bahwa setiap Selasa dan Jum’at mereka bisa membawa bekal atau membeli makan siang di kantin karena pada hari itu, kelas berlangsung sampai sore. Setelah itu Melissa berbicara dengan teman- teman yang lain, dan Yanik tidak mengerti harus berbuat apa. Ia merasa tengkuknya dingin seketika membuka mulut untuk menyela, teman- temannya yang berada di meja panjang itu memperhatikannya dan menunggu ia berbicara.

“Apakah kalian bekerja paruh waktu? Aku sedang berpikir untuk itu. Kalian tahu, Mama belum punya pekerjaan tetap dan kami hanya hidup berdua di sini. Melissa, apa kamu tahu kerja paruh waktu yang cocok untuk umur kita?” saat menyadari teman- temannya tidak bereaksi apa- apa kecuali terdiam dan berusaha mencerna perkataannya, Yanik langsung mengalihkan pertanyaanya, seolah hanya tertuju kepada Melissa.

“Aku tidak tahu, Yanik. Tapi kamu bisa melihat lowongan pekerjaan di pintu toko- toko kelontong.”

Pertanyaan Yanik berlalu seperti pengumuman singkat tentang bencana alam di tempat yang jauh, yang hanya menyita perhatian untuk sesaat dan barangkali tidak ada yang bisa membantu lebih banyak. Setelah itu, meja makan siang riuh kembali. Semua orang kembali larut dalam obrolan dan menyantap lauk makan siang dengan lahap. Yanik menggigit bibir bawahnya dan berusaha mendengar obrolan di antara teman- temannya lagi dan tidak ingin menanggapi atau menyela.

Di halte bus, Yanik memasukkan tangannya dalam saku jaket, meremas jari- jarinya sambil menggerutu karena bus belum juga datang. Hari ini Yanik tidak ingin makan siang. Suasana makan siang di kantin hari Selasa dan Jum’at sama seperti bus yang ditumpanginya setiap pagi. Sesak dan riuh. Ia seperti berada di luar itu, menyaksikan semuanya terulang setiap hari dengan lelah.

Setiap malam sepulang bekerja, Mama bertanya tentang apa yang ia lakukan di sekolah, apakah ia berteman dengan banyak orang atau apakah ia memperoleh hukuman karena tidak mengerjakan tugas. Yanik hanya mengangguk atau menggeleng. Jawabannya yang panjang hanya akan disahuti oleh Mama tentang anak- anak yang dijaganya, rumah majikan yang selalu saja berantakan atau majikannya yang mengeluh tentang masakannya.

“Mereka selalu mengatakan makananku terlalu asin, terlalu banyak merica atau terlalu banyak bawang putih. Dan lagi, mereka mengatakan bumbu- bumbu itu menyebabkan bau menyengat tersebar di rumah saat aku memasak. Yang benar saja, apakah aku harus memasak tanpa bumbu- bumbu itu?”

“Kenapa Mama tidak bekerja di restoran?”

“Sulit sekali. Mereka hanya ingin orang- orang dari sekolah memasak untuk bekerja di dapur mereka. Selain itu kau akan diuji untuk memasak beberapa menu andalan mereka. Kau lihat, tidak ada pekerjaan yang bisa kau peroleh dengan gampang saat ini. Bahkan untuk menjadi pelacur, mereka akan bertanya, apakah rambutmu pirang?”

Setiap hari Selasa dan Jum’at Yanik hanya menghabiskan bekalnya di kantin jika ada yang mengajak, jika tidak ia akan makan di kelas atau menuju ke labotorium komputer untuk menonton video di internet. Obrolannya dengan Melissa tidak pernah jauh dari pekerjaan rumah atau ulangan. Ia sesekali bercerita tentang orang- orang yang dilihatnya di jalan, atau tentang Mama yang belum juga mendapat pekerjaan. Tapi Melissa tidak terlihat antusias saat menanggapinya.

Hari Jum’at minggu lalu Yanik berencana untuk duduk di meja yang sama dengan teman- teman sekelasnya. Namun lauk makan siangnya menguarkan aroma tajam setelah dihangatkan. Anak- anak yang mengantri di depan microwave berpindah ke microwave yang lain. Yanik khawatir jika lauk makan siangnya, yang penuh dengan bumbu beraroma tajam dan terlihat berminyak akan menganggu teman- temannya. Ia berharap Melissa memanggilnya untuk ikut bergabung, tapi ia tidak melihat ke arahnya, seperti tengah serius membahas sesuatu. Ia berjalan ke arah meja makan sambil membawa lauk makan siangnya.

“Apa aku boleh bergabung?”

“Silakan, tapi tidak ada kursi lagi,” jawab Melissa.

Yanik berpikir untuk mengambil kursi di meja sebelah, tapi segerombolan laki- laki yang duduk di meja itu mengatakan teman mereka yang menempati kursi itu sedang membeli makan.

“Kamu tidak makan?” tanya seorang perempuan dengan rambut dikucir. Seluruh tatapan teman- teman sekelas tertuju ke arah Yanik yang gagal mendapat kursi dari meja lain. Ia tidak suka dengan tatapan itu dan ingin lenyap dari kantin seketika.

“Ya ampun, aku ketinggalan sesuatu. Aku harus balik ke kelas! Sampai nanti!” seru Yanik terburu- buru dan bergegas meninggalkan kantin. Ia merasa lapar tapi tidak tahu harus makan di mana. Seluruh mata seperti menatap ke arahnya, mengikutinya yang berjalan cepat menaiki tangga, berbelok ke koridor loker dan berhenti di depan pintu kamar mandi. Tidak ada siapa- siapa.

Yanik masuk ke kamar mandi dan melihat rupanya di cermin. Apa yang salah? Mengapa ia sulit untuk berbicara? Yanik memegang perutnya yang kelaparan dan masuk ke dalam bilik kamar mandi. Ia duduk di kloset dan teringat dengan teman- temannya serta kambing gembalanya di tanah asal. Ia mengutuk dirinya sendiri yang menerima ajakan Mama untuk pindah ke kota ini. Kenapa saat mereka menyebrangi selat, kapal yang ditumpangi dan penuh dengan orang- orang seperti mereka tidak karam saja ke dasar laut? Yanik melepaskan ikatan karet gelang di kotak bekal makan siangnya, membuka penutup kotak bekal dan mencium baunya yang tajam. Ia membuang seluruh lauknya ke dalam kloset.

Jam di halte menunjukkan pukul delapan kurang tiga belas menit, dan bus belum juga datang. Yanik Sousa memutuskan untuk tidak pergi sekolah hari ini.

YK, Juni- Juli 2011


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a comment