Saya adalah orang yang paling payah untuk urusan belajar bahasa.
Di antara semua bahasa yang pernah saya pelajari, rasanya cuma bahasa Indonesia yang bisa saya gunakan untuk menulis, membaca, berbicara, dan mendengar. Tiga yang pertama itu pun kalau saya lagi santai dan percaya diri. Kadang-kadang, saya juga gagap dan bingung harus mengatakan apa dan akhirnya yang keluar cuma muntahan kata-kata yang tidak berarti.
Sementara untuk bahasa-bahasa lain yang pernah saya pelajari, seperti Inggris (8 tahun, belajar dengan senang hati, tapi tidak pernah serius dan selalu khawatir kalau ada tata bahasa yang salah, aksen yang terlalu menonjol dll), Arab (6 tahun, lebih karena terpaksa, saya sekolah di madrasah dan Ibu saya guru bahasa Arab), Jerman (1 tahun, tidak punya pilihan, karena saya sedang ikut pertukaran pelajar di Zurich), Belanda (2 tahun, kewajiban, karena saya memutuskan untuk kuliah sejarah Indonesia) kemampuan saya hanya setengah-setengah.
Saat mengikuti Ayah sekolah di AS, saya berusia dua tahun dan seperti bocah-bocah pada umumnya, bahasa muncul dengan sendirinya di lidah saya. Ibu membiasakan saya serta kakak (Ruzi) dan adik (Rajip) untuk berbicara dalam bahasa Aceh, sementara Ayah membiasakan kami untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Setelah tiga tahun di AS dan pulang ke kampung halaman, kami bertiga tidak bisa bahasa Indonesia untuk sekian lama, dan malah berbicara dengan bahasa campur aduk. Kira-kira semacam,
“Hey, nyan bycycle ata Resa” atau, “Na kama manoe di gas station?”.
Beberapa sepupu yang lebih tua menganggap ini menggemaskan, tapi orangtua kami khawatir kalau persoalan bahasa ini menyebabkan kesulitan bergaul dan belajar di sekolah. Kekhawatiran ini valid. Gara-gara tidak bisa bahasa Indonesia, di minggu pertama sebagai anak TK, saya ikut berkeliling dengan bis antar-jemput, mengantarkan teman-teman sekelas ke rumah masing-masing, karena saya tidak tahu cara menjelaskan bahwa rumah saya baru saja terlewat, berkali-kali.
Jadi, agar hal-hal semacam itu tidak terulang lagi, kami bertiga belajar bahasa Indonesia secara privat pada Ibu Mahyuni, guru di MIN 1 Banda Aceh (sekolah saya, Ruzi, dan Rajip saat itu), yang tinggal tidak terlalu jauh dari rumah. Di antara Ruzi dan Rajip, cuma saya yang lanjut belajar dengan Ibu Mahyuni sampai kelas 3 MIN. Saat itu, saya sepertinya masih mencerna segala sesuatu yang memang terasa membingungkan, dan bahasa baru adalah prioritas urutan kesekian. Setiap kali mengucapkan sesuatu dalam bahasa Indonesia, saya merasa terdengar konyol. Apalagi, pernah suatu kali di pengajian, setelah membaca shalawat menjelang pulang, ustadz menanyakan sesuatu yang mungkin hanya basa-basi, tapi saya malah menjawab dengan lantang dan lafal yang kurang jelas, sehingga seisi masjid tertawa terbahak-bahak dan saya malu luar biasa. Sepanjang jalan pulang dari pengajian (dibonceng oleh Bunda Afrah, tetangga kami yang sudah seperti saudara, dengan Honda Astrea 70) saya menahan diri untuk tidak menangis. Pelik betul kehidupan bocah yang belum bisa bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Saya lupa kapan persisnya bisa membaca bahasa Indonesia dengan lancar, tapi saya ingat setelah itu, saya merasa dunia terasa lebih ramah. Saya suka membaca tulisan yang ada dimana pun: papan tulis, koran, spanduk, majalah Bobo, Tempo, Femina, nama-nama toko, nama jalur angkot, grafiti di jalanan, buku harian Ibu, klipingan tulisan Ayah… Segala sesuatu terasa lebih mudah dan terang benderang. Saya juga mulai memiliki banyak teman di sekolah dan pengajian. Bahasa Indonesia menjadi salah satu pelajaran kesukaan saya di MIN dan obsesi terhadap menulis mulai muncul, terutama karena merasa hal itu seperti berbicara, tanpa perlu lupa selanjutnya harus mengatakan apa. Ruzi, saat itu membeli buku harian dan mulai mengajari saya untuk mencatat pengalaman sehari-hari. Dia juga mengajari saya untuk mencatat keinginan-keinginan seperti, “Ingin liburan ke Jakarta, “Ingin koleksi lengkap Polly Poket”, “Ingin khatam Al-Qur’an”, “Ingin punya piano”, yang sebagian besar, tentu saja, tidak terkabul.
Pengalaman selama di Medan setelah tsunami membuat saya hidup dengan variasi bahasa Indonesia yang berbeda. Saya belajar untuk mengganti “kee” dengan “kamu” saat merujuk pada orang lain, juga “cantik” dan “kekeh”, bukan “cantek” dan “lawak” seperti orang-orang di Banda Aceh. Belum lagi menambah “-nya”, setiap mengakhiri omongan dan berusaha mengikuti intonasi teman-teman di sekolah, agar tidak terdengar “lemas” saat berbicara. Sewaktu kuliah di Jogja, beberapa teman protes karena saya berbicara terlalu cepat, seperti sedang berkumur-kumur. Saya pun belajar untuk berbicara lebih pelan dan mengganti beberapa kata seperti “tengok” dan “siap” untuk mengatakan “lihat” dan “selesai”. Ketika saya mulai menyerap variasi-variasi ini, kemampuan bahasa Aceh saya terasa kering dan tidak berkembang. Saya tidak tahu cara melempar lelucon dan berbasa-basi, juga merasa kurang sopan saat ingin menanyakan sesuatu.
Sementara itu, bahasa Inggris pelan-pelan menguap. Sebelum saya ikut kursus bahasa Inggris di usia 16 tahun, kosakata yang tersisa di kepala cuma angka, warna, dan sedikit kata sifat. Saya menjalani proses belajar bahasa Inggris secara lamban (bahkan hingga hari ini) dan pelan-pelan memahami variasi struktur serta nuansa ungkapan lisan dan tulisan. Di minggu awal program pascasarjana, saya membalas e-mail dengan bahasa Inggris yang terlalu santai kepada kepala program, juga mengisi jawaban ujian dengan kalimat yang kurang akademis dan acak-acakan. Di tahun pertama, tugas-tugas kuliah saya lebih banyak diberi komentar soal tata bahasa dan penulisan akademik daripada tentang isi dan arah argumen. Empat tahun setelah lulus program pascasarjana, saya merasa ada rezim menulis akademik yang masih bercokol di kepala sehingga saya sulit menulis dengan luwes seperti sebelumnya 😦
Saya tidak paham bagaimana rasanya bisa menguasai banyak bahasa, dan seolah santai saja menyesuaikan settingan di kepala setiap kali bertemu orang-orang dengan bahasa A, lalu otomatis berganti lagi saat bertemu orang-orang dengan bahasa B. Juga bagaimana rasanya bisa menulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia sama baiknya? Apakah hidup terasa lebih mudah dan menyenangkan?
Leave a comment