Maret
Baby G mulai MPASI, sempat berpikir kalau jadwal menyusui akan berkurang, tapi ternyata sama saja. Sudah enam bulan, berarti seharusnya Baby G sudah lebih siap jika ditinggal untuk bekerja? Sejak Januari pemasukan rumahtangga nyaris tidak ada. Alin pergi ke Vietnam untuk numpang mengerjakan karya, berharap bisa terjual di pameran beberapa bulan lagi (akhirnya batal), tapi malah pulang dengan kantong kempes, bayaran dalam Vietnam Dong yang kurs-nya jauh di bawah Rupiah. Pertanyaan lama kami kembali terngiang di kepala: apakah seniman dari negara dunia pertama juga mendapat bayaran yang sama?
Tahun lalu pindah ke Bandung dengan niatan seperti lirik lagu Silampukau: atas nama musik seni dan hidup yang penuh kebebasan~ Eh tapi hamil, syukur waktu itu beberapa karya Alin laku di pasar, jadi bisa rutin kontrol kehamilan, membeli barang-barang persiapan melahirkan, dan bertahan hidup hingga akhir tahun, biarpun lamaran kerjaku hampir selalu tidak mendapat tanggapan. Pikirku waktu itu: masa iya untuk bekerja masih harus mengandalkan orang dalam?
Selang beberapa hari setelah Baby G mulai MPASI, aku pergi ke Jogja untuk mengisi acara di Fakultas Filsafat (yang sudah direnovasi, nyaris tidak ada bekas kehidupan mahasiswa-mahasiswa madesu), berbarengan dengan #GejayanMemanggil edisi lanjutan. Mau mampir, tapi ternyata tidak cukup waktu karena mengurus berkas lamaran kerja dan harus antar langsung ke jurusan sejarah USD sebelum kembali ke Bandung di hari yang sama. Mana harus pompa ASI terus setiap 2-3 jam sekali.
Setelah balik dari Jogja, ada teman yang mengabarkan kemungkinan mengajar di satu kampus swasta di Jakarta. Tektokan sekejap via WA, dihubungkan dengan direktur program studi, lalu diajak ketemu langsung dalam hitungan hari. Harap-harap cemas! Karena kabar #Covid19 mulai ramai, kami meminjam mobil mertua untuk pulang pergi Bandung-Jakarta dalam satu hari. Itu perjalanan terakhir ke luar kota.
Setelah itu setiap hari mulai sama: bangun tidur, menyiapkan MPASI untuk Baby G (dipotong, dikukus, digiling, lalu disaring), memandikan Baby G, Alin membersihkan kamar dan aku mengurusi bayi sampai tidur, lanjut mengirim berkas lamaran kerja ke berbagai tempat, makan siang, refresh kotak masuk email berkali-kali, mengecek spam karena khawatir ada kabar baik yang terlewat, bingung, tabungan menipis, untung mertua punya warung jadi bisa minta sarden, minyak goreng, gula, garam, dan telur… Alin belajar masak, aku belajar membagi waktu antara mengerjakan tulisan, menyiapkan MPASI, menyuapi Baby G, makan malam, cuci piring, beberapa kali sempat membaca novel Americanah, tapi akhirnya keteteran.
Bulan Maret terasa panjang sekali. Tiap malam sulit tidur membayangkan besok akan ada kejutan macam apa lagi.
April
Belum ada kabar apapun, baik atau buruk, dari tempat-tempat yang aku lamar. Tagihan pinjaman di bank dan internet selalu datang tepat waktu dan tidak mau tau. Tapi syukurnya tagihan kontrakan masih bisa menunggu. Mulai ada banyak survei tentang kerentanan pekerja seni dan pekerja lepas, dari SINDIKASI, dari Kemendikbud, dari Rakarsa Coop. Aku dan Alin isi survei-survei ini dengan sukarela sambil berharap, data yang kami beri bisa membantu penyusunan kebijakan atau apapun untuk orang-orang dengan penghidupan antara ada dan tiada macam kami.
Baby G selalu makan ditemani Upin Ipin di laptop. Seharusnya tidak ada distraksi, tapi memang lebih mudah menyuap makanan kalau dia sedang menyimak Upin Ipin. Syukurnya dia mau makan bubur nasi dengan kuning telur atau hati ayam. Antara bahagia dan deg-degan: jangan-jangan ini cuma pengantar yang manis untuk episode GTM (Gerakan Tutup Mulut) di bulan-bulan berikutnya? Selain itu, rutinitas tetap sama, kecemasan dan kebingungan juga tetap sama, setiap hari ngobrol via chatt dengan Indri, dengan Mita, dengan Uja, dengan Sangak, Kak Ruz, dan Nindy. Sudah agak terbiasa #dirumahaja. Kalau bosan, jalan-jalan keliling kompleks atau duduk di teras melihat kucing-kucing kesukaan Baby G.
Alin makin jago masak, jarang gagal, dan rasanya enak. Padahal sewaktu masih pacaran, Alin bahkan ga bisa goreng telur dadar. Dia membuat hari-hari karantina terasa ringan. Persis seperti hari-hari awal kami saling kenal. Pembawaannya riang dan tampak tanpa beban, tapi hampir selalu bisa diandalkan. Mungkin karena sebagai seniman, dia lebih terbiasa dengan hidup yang tidak pasti? Sementara aku, biarpun pernah hidup di antara konflik, bencana alam, merantau sendirian, tapi tidak pernah benar-benar berada dalam situasi ekonomi serba tidak jelas hingga waktu yang tidak bisa ditentukan seperti sekarang ini.
Apalagi melihat cara penanganan #Covid19 di Indonesia, rasanya memelihara harapan baik itu suatu kemewahan.

Mei
Bulan kesukaan. Ulangtahun, revolusi, dan kuncup-kuncup bunga musim semi. Sulit dipercaya empat bulan lewat kami hidup dari uang pinjaman, uang emas gadaian, tabungan, stok pangan dari warung mertua, dan kerja lepasan menulis dan menerjemahkan. Semoga pandemi ini benar-benar portal menuju kehidupan yang lebih baik untuk seluruh makhluk yang ada di bumi.
Masih belum ada kabar dari semua tempat yang aku lamar. Sempat coba aktifkan LinkedIn Premium, tapi tidak ada notifikasi kalau free trial akan habis beberapa hari lagi. Sialnya, aku juga tidak memasang pengingat di ponsel. Sekitar 500ribu melayang setelah free trial lewat satu bulan. Kurang ajar memang. Sempat hubungi Jenius dan LinkedIn untuk menanyakan pengembalian, tapi sepertinya sia-sia. Aku berusaha untuk tidak marah pada diri sendiri, tapi tetap saja menggerutu: keadaan sulit begini, kok ya masih saja teledor dan lalai.
Di sela-sela menunggu informasi kerja lepasan, aku meluangkan waktu untuk melakukan latihan yang sering disarankan Mas Sulak: menyalin tulisan pengarang-pengarang terbaik dunia. Setiap malam menyalin sekitar 4-6 halaman. Rasanya menyenangkan. Dan sadar kalau aku belum cukup bereksperimen dengan gaya menulis yang lama. Awal bulan ini sempat menulis satu cerita pendek, tapi masih terasa “main aman”, gak terlalu jauh dari cara bercerita sebelumnya. Terlalu banyak yang mau dihadirkan, dan sulit menentukan porsi show-tell secara imbang. Mungkin seharusnya aku kembali rutin mencatat isi kepala dan keseharian di jurnal (ya tapi bagaimana cara mengakali waktu personal yang cuma tersisa < 5 jam/hari, Raisa?).
Ulangtahun ke-29, selang seminggu kemudian Mita, lalu Sangak. Tahun 2015 kami merayakan ulangtahun bersama-sama, mengundang sedikit kawan untuk makan mie caluk dan minum sanger di rooftop rumah Kak Wiza. Setelah itu kami bertiga hidup berpencar, marahan, baikan, marahan lagi dan sekarang perkawanan kami lebih mirip kakak beradik dari keluarga disfungsional. Sangak di Banda Aceh, Mita di Depok, dan aku di Bandung. Kami sempat video call, berempat dengan Nindy yang sedang studi di Melbourne, untuk ngobrol tentang hal-hal aneh dan gak penting. Semoga akhir tahun ini kami bisa berkumpul di Banda Aceh.
Salon sebelah rumah kembali buka. Pelanggan-pelanggan belum ramai, jadi aku dan Alin mampir untuk ngobrol-ngobrol dan pangkas rambut. Biasanya setiap pangkas rambut, aku memilih potongan yang aman: sedikit menggantung di atas bahu dan kadang-kadang pakai poni. Tapi karena Baby G sudah jago menjambak rambut, aku coba potongan yang jauh lebih pendek dari biasanya. Setelah pangkas, rasanya memang berbeda, lebih ringan dan segar.
Sempat mencoba bikin bubur kacang ijo dengan metode 5;30;7 dan berhasil! Rasanya masih jauh dari bubur kacang ijo yang dibagikan setelah sesi senam hamil di Borromeus, tapi setidaknya rasa kangen sudah terobati. Senangnya.
Leave a comment