Apa Yang Tidak Orang-Orang Bicarakan Ketika Mereka Berbicara Tentang Hamil dan Lahiran (Pada Saya)

Sebelum menikah, saya dan Alin sudah merancang agenda hidup bersama yang santai dan ceria: keliling Sumatra lewat jalan darat, mampir di kota-kota sepanjang jalur kereta api Jawa, berlayar ke Maluku Tenggara, sambil menulis, membaca, menyicil ide-ide untuk karya dan juga nyari uang secukupnya. Saat itu, saya juga tengah mempersiapkan diri untuk seleksi program doktoral dan berpikir akan memulai studi di usia < 30. Tapi yah, memang manusia hanya bisa berencana. Sisanya terserah kehendak semesta.

Kurang dari dua bulan menikah, ada bercak coklat kemerahan di seprai. Saya sempat mengira itu darah menstruasi, tapi Alin punya firasat lain. Masa hamil sih, pikir saya saat itu. Soalnya tidak ada perasaan pusing atau mual. Alin mengajak saya mampir ke apotek dan membeli test pack. Dan ternyata firasat Alin benar. Saat melihat dua garis itu, saya merasa seperti orang linglung. Semua rencana mendadak harus dikompromikan ulang, atau malah ditunda, entah sampai kapan.

Tiga bulan pertama berjalan dengan perasaan khawatir dan deg-degan. Orangtua saya (seperti biasa) cenderung kalem dengan kabar ini dan selalu mengingatkan agar saya tidak lalai dengan menceritakan pengalaman keguguran saudara dan kerabat dekat di trimester pertama. Di usia 12 minggu kehamilan, saya pindah ke Bandung dan sempat tinggal dua bulan di rumah mertua. Oleh kakak ipar dan ibu mertua, saya dibebaskan dari urusan bersih-bersih dan selalu diingatkan untuk tidak berada di luar rumah setelah Maghrib. Apalagi kalau ada pohon besar. Jangan lupa baca Al-Fatihah. Tubuh perempuan hamil itu harum, bisa mengundang rasa penasaran makhluk-makhluk lain, katanya.

Saya memang tidak mengalami kejadian aneh-aneh, sih. Tapi beberapa kali saya dan Alin mimpi hal menyeramkan secara bersamaan. Pernah juga Alin mimpi dan mengigau mengerikan sampai saya ikut terjaga. Karena ini, setiap bangun tidur kami jadi rutin gugling tafsir mimpi dan nanya-nanya ke sobat indigo di sekitar πŸ˜‚

Tiga bulan berikutnya, kehamilan terasa lebih ringan. Saya dan Alin biasa naik motor dari rumah mertua di Kopo ke studio lukis di Ledeng sebelum akhirnya mulai mengontrak di Gegerkalong. Kami juga sering bepergian ke Jakarta dan saya sempat berangkat ke Jogja sendirian. Selama dalam perjalanan, saya jadi semakin ngeh betapa fasilitas publik seperti jembatan penyebrangan dan kamar mandi umum tidak ramah untuk ibu hamil, lansia, dan orang difabel.

Di trimester kedua, saya dan Alin mulai survey tempat lahiran dan lebih banyak belajar. Saya percaya bahwa urusan pengasuhan anak itu adalah kerja bersama Ayah dan Ibu, jadi keduanya harus sama-sama mau belajar. Mulai dari menggendong, memandikan, menyiapkan dan memberi makan/minum, bermain dll. Untuk survey tempat lahiran, kami singgah ke RSIA, klinik, dan praktik bidan se-Bandung Raya (beneran, dari Dago, Antapani, Cikutra, Buahbatu sampai ke Gedebage) untuk tanya-tanya harga, lihat ruang persalinan, tanya fasilitas rooming in, dukungan terhadap IMD, prosedur keselamatan, jalur evakuasi kalau ada gempa dll. Kalau diingat-ingat sih kocak, soalnya saya malah lahiran di RS Borromeus yang tidak masuk dalam list survey karena kebetulan dekat rumah dan rutin senam hamil di sana πŸ˜‚ Untuk kelas persiapan kelahiran, saya dan Alin ikut paket belajar sistem kebut sehari di Klinik Harapan Keluarga Buahbatu. Kelasnya asik, ada simulasi memandikan bayi, mengganti popok, yoga couple, tahapan persalinan spontan, juga banyak pengetahuan seputar cara merawat newborn yang berbeda dari kepercayaan orangtua generasi sebelumnya.

Menjelang trimester ketiga, saya baru sadar kalau kehamilan ini nyata dan hidup baru sebagai ibu-ibu akan segera tiba. Laju naik turun hormon semakin ajaib. Saya punya banyak kecemasan dan akhirnya memutuskan untuk ikut sesi hypnobirthing secara teratur di RS Borromeus. Selain itu, saya juga sempat curhat panjang (ditambah nangis-nangis) ke bidan Okke di Klinik Bumi Ambu tentang segala macam ketakutan, kompromi dengan mimpi-mimpi, dan hidup baru yang belum pernah saya bayangkan. Bidan Okke, yang sudah 15 tahun menemani ibu hamil linglung macam saya, mengatakan kalau semua kecemasan itu wajar. Sambil berpelukan lama, ia meminta saya untuk memaafkan diri dan berusaha ikhlas dengan segala kemungkinan. Sementara untuk persiapan lahiran spontan, bidan Okke menganjurkan saya berjalan kaki setiap hari selama 30 menit sebelum memasuki usia 36 minggu kehamilan.

Di usia kehamilan 32 minggu, saya mulai ikut yoga dan senam hamil di RS Borromeus. Masing-masing jadwalnya 2 kali seminggu dan biayanya sekitar 30-50rb, sudah termasuk makan/minuman sehat dan sesi belajar tentang tubuh pasca lahiran + perawatan newborn. Instrukturnya ramah, peralatan seperti birthing ball dan matras yoga juga tersedia. Kalau menurut saya sih, kelas senam hamil itu sangat membantu untuk lahiran spontan karena ada simulasi mengejan di akhir tiap sesi: mata harus terbuka, nafas pendek-pendek, dan kedua tangan menyangga paha.

Proses persalinan berjalan lancar meskipun saat itu Alin tidak bisa menemani karena sedang pasang karya untuk pameran di Jakarta. Saya mengalami kontraksi setelah solat Subuh, tanpa ada tanda-tanda apapun seperti pecah ketuban atau flek. Saya menghitung kontraksi dengan bantuan aplikasi di ponsel, lalu duduk dan main-main di birthing ball saat sensasinya mulai sulit ditahan. Kalau di saya sih, kontraksi itu rasanya seperti kesetrum. Sekitar jam setengah 8 pagi, saya berangkat ke RS Borromeus dengan GrabCar untuk memeriksa isi perut yang sudah diobok-obok. Setelah pemeriksaan oleh suster, ternyata sudah bukaan 3! Oh mungkin ini bukaan lengkapnya baru nanti sore atau Maghrib, pikir saya. Tapi ternyata Baby G sudah ga betah dan dengan grasa-grusu meluncur ke bumi manusia! Sekitar jam 10.30 bukaan sudah lengkap, air ketuban dipecahkan oleh dokter Maxim, saya mengikuti instruksi mengejan dari suster dan setelah itu saya merasa seperti teko air yang mendidih. Ada teriakan panjang dan nyaring lalu tau-tau Baby G sudah menangis di depan saya. Capek tapi lega tapi clueless. Proses IMD dimulai, Baby G bergerak malas ke arah puting dan dokter Maxim mulai menjahit jalan lahir yang sempat digunting. Agak lama kemudian, saya mulai merasa ada sensasi terbakar di dalam rahim, dan ingin menghentikan proses IMD saat itu juga. Saya akhirnya masuk ruang tindakan karena ternyata ada pendarahan serius di bagian dalam. Jahitan dibuka lagi untuk mengobati pendarahan. Di saat itu, saya benar-benar merasa akan mati 😦

Pendarahan itu akhirnya membatalkan semua agenda yang sudah saya rencanakan. Tidak ada IMD dan rooming in. Baby G butuh minum susu, tapi kondisi saya belum pulih. Saya harus pipis dengan kateter, tidak bisa bergeser di kasur, dan rasanya ingin melata saja. Oleh suster di Borromeus, Baby G diberi susu formula dengan sendok. Saya sempat berpikir, setelah tiga hari semuanya akan baik-baik saja dan saya bisa menyusui dengan damai. Tapi yah, tentu saja tidak semudah itu.

Karena terlalu sibuk dengan persiapan lahiran, saya tidak pernah mempersiapkan diri untuk menyusui. Jadi setelah melakukan percobaan menyusui tanpa pendampingan suster, saya merasa tidak ada masalah dengan proses meng-ASI-hi. Tiga hari sesudah lahiran, saya dan Alin keluar dari Borromeus dengan penuh harapan dan rasa bahagia sebagai orangtua baru. Kami memutuskan untuk menghabiskan dua minggu pertama di rumah mertua agar ada pihak keluarga yang bisa ikut menbantu merawat Baby G. Keputusan ini baik karena: 1) ada kloset duduk, jadi memudahkan saya untuk pipis dan BAB selama luka episiotomi belum pulih 2) saya bisa fokus pemulihan diri dan merawat bayi tanpa perlu pusing dengan urusan laundry, makan dan bersih-bersih. Tapi keputusan ini tidak terlalu baik karena: 1) batasan antara ‘membantu’ dan ‘ikut campur’ jadi kabur. ASI saya hanya keluar sedikit dan tidak ada seorang pun yang mendukung untuk menyusui. Alin juga bingung karena Baby G terus menangis kehausan. 2) saya tidak punya waktu untuk fokus mengusahakan ASI, juga menata pikiran dan perasaan setelah melahirkan karena selalu kedatangan tamu (yang kadang-kadang memberi komentar dan pertanyaan menyebalkan). Di saat itu, saya hanya ingin berada di rumah kontrakan atau di rumah Banda Aceh.

Selama seminggu pertama hormon saya naik turun dan segala sesuatu terasa kacau. Saya bisa menangis panjang untuk hal-hal yang biasanya saya anggap sepele. Saya akhirnya tidak memaksakan diri untuk bisa langsung menyusui, dan memutuskan untuk fokus ke pemulihan fisik mental. Kalau saya belum sembuh, masa iya saya bisa merawat dan meng-ASI-hi Baby G dengan baik? Jadi, setiap hari saya meluangkan waktu untuk mandi, makan buah dan sayur, juga merawat bekas jahitan. Ohya, desakan untuk BAB benar-benar terasa seperti teror; saya masuk ke WC dan mengatur nafas ala yoga sambil komat kamit mengatakan ke diri sendiri: percayalah pada tubuhmu~ hingga proses BAB selesai (beberapa kali gagal sih). Setiap saat saya merasa perlu mengingatkan diri sendiri tentang apa yang baru saya lalui dalam seminggu dan membiasakan diri dengan ‘tubuh baru’ beserta seperangkat aturan baru. Di hari ketujuh setelah lahiran, organ pencernaan dan kemih terasa lebih bersahabat. Saya betul-betul gak habis pikir tentang suami-suami yang memaksa untuk segera berhubungan seks pasca melahirkan. Dorongan homicidal suka muncul tak terbendung kalau mendengar cerita-cerita semacam itu.

Proses mengeluarkan ASI dan menyusui yang penuh tantangan juga bikin saya semakin teguh meyakini feminisme πŸ€ͺ Saya makan apapun yang bisa memperlancar ASI, pergi ke konsultan laktasi, belajar relaktasi, beberapa kali pijat lancar ASI dan hasilnya nihil… Selama sebulan gagal memberi ASI untuk Baby G, saya sempat merasa putus asa dan berpikir, apa bedanya sih minum ASI dan sufor di enam bulan pertama? Yang penting kan bayinya hidup dan sehat-sehat saja… Apalagi setiap kali saya mencoba untuk mengurangi asupan susu formula, Baby G langsung rewel kayak orang sakaw πŸ€¦πŸ»β€β™€οΈ Di saat saya nyaris menyerah, Baby G tiba-tiba sakit batuk pilek dan dokter hanya menyarankan satu hal: beri ASI terus karena susu formula bikin batuk Baby G tambah parah. Akhirnya dengan harapan Baby G bisa sembuh, saya tempelin saja terus puting ke mulutnya sepanjang hari. Dan berhasil! Kalau Baby G terjaga tengah malam, saya dan Alin ga perlu bergantian panasin air, bikin susu formula, dan menyusui dari botol karena saya tinggal buka baju. Alhamdulillah πŸ’›

Sepuluh bulan menjadi Ibu penuh waktu membuat saya menemui sisi-sisi lain dari diri sendiri, yang bisa jadi sudah ada sejak lama atau tumbuh secara tidak saya sadari. Ada hari-hari baik dimana segala sesuatu berjalan dengan ringan dan menyenangkan, apapun terasa mungkin dan tanpa batas. Tapi ada banyak juga hari-hari menyebalkan dimana hidup terasa berkubang dengan urusan domestik yang tidak ada habisnya, mimpi-mimpi terasa semakin jauh dan kebebasan terdengar seperti omong kosong. Biasanya, di hari-hari buruk semacam itu saya hanya berusaha menjadi pendengar yang baik untuk isi kepala yang cerewet, lalu menjelaskan ke Alin tentang semua itu. Dia, tentu saja, lebih sering bingung daripada langsung memahami isi kepala saya. Tapi setidaknya dia berusaha melakukan sesuatu, seperti joged-joged konyol, mengulang lawakan Kang Ibing, atau membiarkan saya gegoleran sepanjang hari tanpa mengurusi Baby G kecuali menyusui agar 0,005% keruwetan itu berkurang.


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a comment