Catatan tentang Diri

Aku dan jiwaku

berbaring berdampingan

Kami telanjang

bagai dua kanak remaja

Kami saling menatap

seolah lama tak jumpa

Ia tampak lebih tua

waktu berlalu lekas baginya

Sedangkan aku serupa dulu

waktu telah lama berhenti

sebab ia bukan milikku lagi

Ke mana kau akan pergi

bila akhirnya kita mati?

Jiwaku tersenyum diam-diam

Balik tanya hal sama padaku

Aku mau pergi ke bulan

dipuja penyair dan kekasih malam kasmaran

Atau datang ke lain dunia

jadi tukang pos kesepian

tak jemu mengirim surat untukmu

Aku dan jiwaku

berbaring berdampingan

Di luar maut menunggu

menyamar hujan semalaman

menyemai mawar-mawar duri

di taman-taman

Di taman-taman.

(Aku dan Jiwaku – Ni Made Purnamasari)

Setelah berkeluarga, aku jadi lebih menyayangi diriku. Dia ingin segala sesuatu tetap menjadi rahasia, antara aku dan dia saja. Tidak ada siapa-siapa selain kami. Tidak anakku, tidak juga suamiku. Kami beberapa kali bertemu selepas jam duabelas malam, di meja kerja, dalam tumpukan kertas-kertas, buku agenda, dan satu dua buku tidak terbaca. Kadang-kadang kami berbagi isi kepala melalui remah-remah kue, cangkir kopi, atau gelas air putih dari galon isi ulang. Sudah lama sekali kita tidak menghabiskan waktu bersama semacam ini, katanya padaku. Betul, aku mengangguk setuju. Sudah lama sekali.

Sewaktu aku masih berusia duapuluhan awal, sewaktu aku berpikir hidupku akan segera berakhir, aku dan diriku sering bertemu untuk berkelahi. Rasanya aneh sekali: ia tidak pernah betul-betul muncul di hadapanku, karena sesungguhnya ia ada di dalam tubuhku (persisnya dimana, kepala, hati, atau dalam aliran darahku, aku pun tidak tahu). Saat ia datang, biasanya aku ketakutan atau berubah murung dalam sekejap. Aku tidak selalu suka pertemuan kami. Ia selalu membicarakan hal-hal yang mengerikan. Kegilaan, kematian, kebodohan, kelaparan… semua yang aku khawatirkan. Dan biasanya ia akan membicarakan semua itu dengan suara keras, menyalak-nyalak seperti anjing, menuntut aku untuk mendengar benar-benar. Aku sering menangis karena aku tidak suka dengan caranya berbicara. Setiap kali aku mengatakan soal itu, ia akan membalas nyaring: tapi kau yang membuat aku menjadi seperti ini!

Aku tidak ingat sejak kapan kami mulai hidup bersama, juga tidak ingat apa yang sudah aku perbuat hingga ia tumbuh menjadi sosok yang sangat menyebalkan. Yang aku ingat, ia selalu ada saat aku sendiri. Menemaniku dengan mimpi indah dan buruk sekaligus. Aku tidak bisa menolak, karena dia begitu kuat. Atau mungkin, aku tidak bisa menolak karena terbuai dengan mimpi-mimpi yang ia beri. Aku tidak suka, tapi sudah terbiasa. Jadi aku hanya bisa menerima dan menerima.

Hingga suatu hari ia pernah begitu murka padaku. Berteriak berulang kali tentang suatu soal yang ingin aku lupakan, tapi sialnya, dia selalu ingat. Aku ingat apa yang ia katakan, tapi terlalu takut untuk mengetiknya di sini. Katanya, ia sengaja berbuat seperti itu agar aku tahu batas. Aku sudah berjalan terlalu jauh ke tepi, dan kalau bukan karena omongannya di hari itu, aku mungkin sudah mati, jelasnya setelah agak lama. Aku bodoh sekali, kataku dulu. Dan ia tidak membantah, memang begitu sudah jalanmu. Jangan menoleh ke belakang lagi.

Setelah aku bertemu dengan orang yang aku cintai (dan kemudian menjadi suamiku), pertemuan dengan diriku yang kecil dan merdeka itu perlahan-perlahan menjadi jarang. Dia sepertinya juga senang dengan orang yang aku cintai. Jadi kami sama-sama menikmati waktu-waktu baik yang ada, menahan diri untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan atau kemarahan jika perasaan itu datang tiba-tiba. Kami hidup bersisian seperti dua rumah berhimpitan di gang-gang sempit kota Jakarta. Tidak ada yang terlalu tabu untuk didengar, tidak ada yang terlalu sedikit untuk diberi, tidak ada keintiman yang dipaksakan.

Aku sempat khawatir ia akan datang tiba-tiba untuk sekadar menghardik menjelang kelahiran anak pertamaku. Tapi ternyata aku keliru. Ia sengaja datang jauh-jauh hari untuk membuat aku tenang; mengatakan bahwa masa laluku harus dibiarkan pergi. Bayangkan sebuah kapal yang meninggalkan dermaga hangus terbakar api, katanya. Kau ada di kapal itu, menyelamatkan diri dari musibah, berlayar menuju tempat yang lebih teduh, lebih damai, lebih baik dari segala tempat yang pernah kau singgahi. Kau akan baik-baik saja di sana. Aku menangis sepanjang hari dan malam. Ia seperti menimang-nimang aku yang juga kecil dan luka. Terima kasih sudah menjagaku, kataku setelah tangisku reda. Dia hanya diam dan melihatku lekat-lekat. Sejak itu, aku tahu kalau ia sebenarnya sayang padaku.

Selepas itu, pertemuan kami menjadi semakin jarang. Hari-hariku penuh dengan tangis bayi, jadwal belanja mingguan, menu masakan yang ingin aku coba, buku-buku yang belum terbaca dan cerita-cerita konyol suamiku. Beberapa kali memang aku merasa lelah dan sedih karena ternyata, hidup yang merdeka dari aturan dan patokan generasi tua itu tidak mudah. Makan tiga kali sehari saja susah, apalagi mau mendobrak norma-norma. Tapi di saat-saat seperti itu, diriku tidak akan menghardik atau menyalak-nyalak seperti anjing. Dia hanya akan bertanya satu dua hal, membantu aku mengurai masalah-masalah, tanpa berlama-lama, lalu pergi. Mungkin ia tahu waktuku untuk dirinya tidak sebanyak dulu.


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a comment