Tiga Puisi Forugh Farrokhzad

Foto diambil dari Wikipedia

Farrough Farrokhzad lahir pada 28 Desember 1934 dalam keluarga kelas menengah di Tehran, Iran. Ia memperoleh pendidikan hingga kelas sembilan sekolah umum, lalu belajar menjahit dan melukis, sebelum kemudian menikah di usia 17 tahun. Anak tunggalnya lahir setahun kemudian, dan dua tahun setelah itu ia berpisah dengan suaminya, lantas kehilangan hak asuh atas anaknya.

Sepanjang pertengahan 1950an, Farrokhzad menulis puisi mengenai kehidupan domestik, pengalaman perempuan Iran, juga hal-hal yang ia alami sebagai istri dan ibu seperti yang tergambar dalam “The Captive,” “The Wedding Band,” “Call to Arms,” and “To My Sister.” Selain menulis puisi, Farrokhzad juga membintangi film, memproduseri beberapa film dokumenter, salah satunya “The House Is Black” yang dianggap cukup berpengaruh dalam Iranian New Wave di dekade 1960an.

Pada usia 32 tahun, Farrokhzad meninggal dalam kecelakaan mobil.


Hatiku Berkabung untuk Sebuah Taman

Tidak ada yang memikirkan bunga-bunga

Tidak ada yang memikirkan ikan-ikan

Tidak ada yang mau percaya

bahwa taman ini akan mati

bahwa jantung dari taman ini telah membengkak di bawah terpa matahari

bahwa benak dari taman ini perlahan, perlahan

mengering dari kenangan hijau pucuk

dan perasaan taman ini

adalah sejenis benda mujarad membusuk dalam kesunyian taman

Pekarangan rumah kita sendiri saja

Pekarangan rumah kita

menganga dalam penantian

akan hujan dari awan yang entah

Kolam dari rumah kita kosong

Bintang yang kecil dan kikuk

Jatuh dari ketinggian pohon ke bumi

Dan melalui jendela-jendela pucat dari hunian ikan

bunyi batuk tiba di malam hari

Pekarangan rumah kita sendiri saja.

Ayahku berkata:

“Sudah habis waktuku

“Sudah habis waktuku

“Aku sudah menanggung bebanku

“dan menyelesaikan pekerjaanku”

Dan di ruangannya, dari fajar hingga maghrib,

ia membaca antara Shahnameh atau Nasekh al-Tawarikh

Ayahku berkata pada ibu:

“Persetan dengan segala ikan dan burung-burung!

“Saat aku mati

“Apa akan ada perbedaan

“Jika taman ini ada atau tidak?

“Uang pensiun sudah cukup untukku.”

Seluruh hidup ibu

adalah bentangan sajadah

pada ambang ketakutan akan neraka

selalu pada dasar segala sesuatu

ia mencari jejak dosa

dan berpikir murtadnya sebatang tumbuhan

telah menodai taman ini.

Ibu adalah pendosa alami

Ia beribadah sepanjang hari

dan memberkati bunga-bunga

dan memberkati ikan-ikan

dan memberkati dirinya

Ibu menanti kembalinya Isa

agar kemuliaan turut tiba

Abangku menyebut taman ini kuburan

Ia tertawa pada rumput yang semrawut

dan menghitung mayat-mayat ikan

yang kembali menjadi partikel-partikel tengik

di bawah lara permukaan air

Abangku terpikat pada filsafat

Ia berpikir penawar untuk taman ini

bersandar pada kehancurannya

Ia mabuk,

meninju kepalan tangannya ke dinding dan pintu

dan berusaha mengatakan bahwa ia lelah dan patah

Ia bawa rasa kecewa bersama dirinya,

ke jalanan dan ke pasar

seperti kartu penanda diri, seperti buku temu janji,

seperti mancis, seperti saputangan, atau pena

Dan rasa kecewanya begitu mungil

Hingga setiap malam ia hilang

dalam keriuhan kedai arak

Dan kakakku yang berteman dengan bunga-bunga

dan mengambil kata-kata sederhana dari lubuk hatinya

pergi ke pertemuan mereka yang senyap nan luhur

akan menangis, ketika dulu ibuku memukulnya,

dan sesekali mengundang keluarga-keluarga ikan

pergi ke pesta matahari dan gulali…

Rumahnya ada di sisi yang lain dari kota ini

Dan di dalam rumah tiruan miliknya,

dengan ikan emas tiruan miliknya

dalam naungan cinta suami tiruan miliknya

di bawah batang-batang pohon apel tiruan miliknya,

ia menyanyikan buaian tiruan,

dan melahirkan bayi-bayi tiruan,

Setiap kali ia mengunjungi kami dan taman yang kerontang mencemari

sudut-sudut kelimannya

ia berendam dalam wewangian

Setiap kali ia mengunjungi kami

ia tengah berisi.

Pekarangan rumah kita sendiri saja

Pekarangan rumah kita sendiri saja

Sepanjang hari, dari belakang pintu

datang suara nyaring dan dentuman

Alih-alih bunga yang tetangga kita tanam

Senapan mesin dan mortir di halaman mereka

Tetangga kita menyelubungi ubin kolam

dan ubin kolam telah menjadi penyimpanan rahasia timbunan bubuk mesiu

tanpa mengharapkan itu pada mereka sendiri,

dan anak-anak di jalanan kita ini

mengisi ranselnya

dengan periuk-periuk api kecil

Pekarangan rumah kita linglung

Aku takut pada waktu

yang telah raib hatinya

Aku takut pada pikiran

akan banyaknya tangan yang sia-sia

dan akan banyaknya wajah-wajah asing

Seperti seorang anak murid

yang kasmaran pada pelajaran geometri,

Aku sendiri,

Dan aku pikir taman ini bisa dibawa ke rumah sakit

Aku pikir…

Aku pikir…

Aku pikir…

bahwa jantung dari taman ini telah membengkak di bawah terpa matahari

bahwa benak dari taman ini perlahan, perlahan

mengering dari kenangan hijau pucuk


Pasangan

Malam tiba,

dan setelah malam, kegelapan

dan setelah kegelapan,

mata

tangan

dan hela nafas, hela nafas, hela nafas…

dan suara air,

menetes dari keras setetes demi setetes demi setetes.

Lalu dua pendar merah

dari nyala dua batang rokok

tik-tok jam berdetak

dan dua hati

dan dua kesunyian


Puisi Untukmu

Aku menulis puisi ini untukmu

Dalam dahaga malam musim panas,

Separuh jalan dalam arah yang celaka ini,

Pada nisan tua dari duka yang tak sudah

Ini adalah ninabobo terakhir

Pada tapak buaian tidurmu

Rona liar dari tangisan ini agaknya

Akan tersapu melalui langit masa mudamu

Biar bayanganku, si pengembara,

Terpisah dan menjauh darimu

Jika suatu hari kita bersama lagi

Tak ada siapapun selain Tuhan yang akan berada di antara kita

Di pintu yang gelap aku bersandar

Alisku dengan derita yang bertumpuk;

Melalui pintu terbuka ini aku berlari

Jari-jariku yang kurus dan beku penuh harap

Aku adalah orang yang dianggap aib

Yang tergelak pada ejekan dan tangis percuma:

“Biar aku menjadi suara dari keberadaan diriku!”

Tapi apa boleh buat, aku adalah “perempuan”

Pada buku tanpa permulaan yang membingungkan ini

Mata sucimu akan terpikat,

Kau akan melihat pemberontakan yang bertahun-tahun mengakar,

Mekar dalam sanubari setiap nyanyian,

Di sini, bintang-bintang padam

Di sini, tangis para malaikat

Di sini, rekah bunga sedap malam

Lebih murah daripada semak duri gurun

Di sini, pada setiap ujung jalan, duduklah

Iblis aib dan kemunafikan

Bias dari nyala pagi

Dalam langit gelap yang tidak aku lihat

Sekali lagi, biar mataku terisi

Dan penuh dengan tetesan embun;

Aku telah berpisah dari diriku untuk membuka selubung

Dari wajah suci Bunda Maria

Aku terkoyak dari pesisir nama baik

Dari dadaku terpancar bintang prahara

Jangkauan terbang dari api amarahku

Sayangnya adalah, ruang gelap penjara ini

Di pintu yang gelap aku bersandar

Alisku dengan derita yang bertumpuk;

Melalui pintu terbuka ini aku berlari

Jari-jariku yang kurus dan beku penuh harap

Kelompok pertapa dan berlagak suci ini

Tidak mudah, aku tahu, untuk diadu;

Kotamu dan kotaku, anakku yang manis,

Telah lama menjadi sarang iblis

Akan tiba hari ketika, dengan belas kasih

Matamu akan memainkan nyanyian nestapa ini,

Dalam kata-kataku kau akan mencariku

Dan membatin, “Dia adalah orang yang melahirkanku.”


Puisi-puisi di atas (“My Heart Grieves for the Garden”, “Couple”, dan “A Poem for You“) disadur oleh Raisa Kamila dari buku “Another Birth and Other Poems” (Mage Publisher, 2010) terjemahan Hasan Javadi dan Susan


Posted

in

by

Tags:

Comments

Leave a comment