
Farrough Farrokhzad lahir pada 28 Desember 1934 dalam keluarga kelas menengah di Tehran, Iran. Ia memperoleh pendidikan hingga kelas sembilan sekolah umum, lalu belajar menjahit dan melukis, sebelum kemudian menikah di usia 17 tahun. Anak tunggalnya lahir setahun kemudian, dan dua tahun setelah itu ia berpisah dengan suaminya, lantas kehilangan hak asuh atas anaknya.
Sepanjang pertengahan 1950an, Farrokhzad menulis puisi mengenai kehidupan domestik, pengalaman perempuan Iran, juga hal-hal yang ia alami sebagai istri dan ibu seperti yang tergambar dalam “The Captive,” “The Wedding Band,” “Call to Arms,” and “To My Sister.” Selain menulis puisi, Farrokhzad juga membintangi film, memproduseri beberapa film dokumenter, salah satunya “The House Is Black” yang dianggap cukup berpengaruh dalam Iranian New Wave di dekade 1960an.
Pada usia 32 tahun, Farrokhzad meninggal dalam kecelakaan mobil.
Hatiku Berkabung untuk Sebuah Taman
Tidak ada yang memikirkan bunga-bunga
Tidak ada yang memikirkan ikan-ikan
Tidak ada yang mau percaya
bahwa taman ini akan mati
bahwa jantung dari taman ini telah membengkak di bawah terpa matahari
bahwa benak dari taman ini perlahan, perlahan
mengering dari kenangan hijau pucuk
dan perasaan taman ini
adalah sejenis benda mujarad membusuk dalam kesunyian taman
Pekarangan rumah kita sendiri saja
Pekarangan rumah kita
menganga dalam penantian
akan hujan dari awan yang entah
Kolam dari rumah kita kosong
Bintang yang kecil dan kikuk
Jatuh dari ketinggian pohon ke bumi
Dan melalui jendela-jendela pucat dari hunian ikan
bunyi batuk tiba di malam hari
Pekarangan rumah kita sendiri saja.
Ayahku berkata:
“Sudah habis waktuku
“Sudah habis waktuku
“Aku sudah menanggung bebanku
“dan menyelesaikan pekerjaanku”
Dan di ruangannya, dari fajar hingga maghrib,
ia membaca antara Shahnameh atau Nasekh al-Tawarikh
Ayahku berkata pada ibu:
“Persetan dengan segala ikan dan burung-burung!
“Saat aku mati
“Apa akan ada perbedaan
“Jika taman ini ada atau tidak?
“Uang pensiun sudah cukup untukku.”
Seluruh hidup ibu
adalah bentangan sajadah
pada ambang ketakutan akan neraka
selalu pada dasar segala sesuatu
ia mencari jejak dosa
dan berpikir murtadnya sebatang tumbuhan
telah menodai taman ini.
Ibu adalah pendosa alami
Ia beribadah sepanjang hari
dan memberkati bunga-bunga
dan memberkati ikan-ikan
dan memberkati dirinya
Ibu menanti kembalinya Isa
agar kemuliaan turut tiba
Abangku menyebut taman ini kuburan
Ia tertawa pada rumput yang semrawut
dan menghitung mayat-mayat ikan
yang kembali menjadi partikel-partikel tengik
di bawah lara permukaan air
Abangku terpikat pada filsafat
Ia berpikir penawar untuk taman ini
bersandar pada kehancurannya
Ia mabuk,
meninju kepalan tangannya ke dinding dan pintu
dan berusaha mengatakan bahwa ia lelah dan patah
Ia bawa rasa kecewa bersama dirinya,
ke jalanan dan ke pasar
seperti kartu penanda diri, seperti buku temu janji,
seperti mancis, seperti saputangan, atau pena
Dan rasa kecewanya begitu mungil
Hingga setiap malam ia hilang
dalam keriuhan kedai arak
Dan kakakku yang berteman dengan bunga-bunga
dan mengambil kata-kata sederhana dari lubuk hatinya
pergi ke pertemuan mereka yang senyap nan luhur
akan menangis, ketika dulu ibuku memukulnya,
dan sesekali mengundang keluarga-keluarga ikan
pergi ke pesta matahari dan gulali…
Rumahnya ada di sisi yang lain dari kota ini
Dan di dalam rumah tiruan miliknya,
dengan ikan emas tiruan miliknya
dalam naungan cinta suami tiruan miliknya
di bawah batang-batang pohon apel tiruan miliknya,
ia menyanyikan buaian tiruan,
dan melahirkan bayi-bayi tiruan,
Setiap kali ia mengunjungi kami dan taman yang kerontang mencemari
sudut-sudut kelimannya
ia berendam dalam wewangian
Setiap kali ia mengunjungi kami
ia tengah berisi.
Pekarangan rumah kita sendiri saja
Pekarangan rumah kita sendiri saja
Sepanjang hari, dari belakang pintu
datang suara nyaring dan dentuman
Alih-alih bunga yang tetangga kita tanam
Senapan mesin dan mortir di halaman mereka
Tetangga kita menyelubungi ubin kolam
dan ubin kolam telah menjadi penyimpanan rahasia timbunan bubuk mesiu
tanpa mengharapkan itu pada mereka sendiri,
dan anak-anak di jalanan kita ini
mengisi ranselnya
dengan periuk-periuk api kecil
Pekarangan rumah kita linglung
Aku takut pada waktu
yang telah raib hatinya
Aku takut pada pikiran
akan banyaknya tangan yang sia-sia
dan akan banyaknya wajah-wajah asing
Seperti seorang anak murid
yang kasmaran pada pelajaran geometri,
Aku sendiri,
Dan aku pikir taman ini bisa dibawa ke rumah sakit
Aku pikir…
Aku pikir…
Aku pikir…
bahwa jantung dari taman ini telah membengkak di bawah terpa matahari
bahwa benak dari taman ini perlahan, perlahan
mengering dari kenangan hijau pucuk
Pasangan
Malam tiba,
dan setelah malam, kegelapan
dan setelah kegelapan,
mata
tangan
dan hela nafas, hela nafas, hela nafas…
dan suara air,
menetes dari keras setetes demi setetes demi setetes.
Lalu dua pendar merah
dari nyala dua batang rokok
tik-tok jam berdetak
dan dua hati
dan dua kesunyian
Puisi Untukmu
Aku menulis puisi ini untukmu
Dalam dahaga malam musim panas,
Separuh jalan dalam arah yang celaka ini,
Pada nisan tua dari duka yang tak sudah
Ini adalah ninabobo terakhir
Pada tapak buaian tidurmu
Rona liar dari tangisan ini agaknya
Akan tersapu melalui langit masa mudamu
Biar bayanganku, si pengembara,
Terpisah dan menjauh darimu
Jika suatu hari kita bersama lagi
Tak ada siapapun selain Tuhan yang akan berada di antara kita
Di pintu yang gelap aku bersandar
Alisku dengan derita yang bertumpuk;
Melalui pintu terbuka ini aku berlari
Jari-jariku yang kurus dan beku penuh harap
Aku adalah orang yang dianggap aib
Yang tergelak pada ejekan dan tangis percuma:
“Biar aku menjadi suara dari keberadaan diriku!”
Tapi apa boleh buat, aku adalah “perempuan”
Pada buku tanpa permulaan yang membingungkan ini
Mata sucimu akan terpikat,
Kau akan melihat pemberontakan yang bertahun-tahun mengakar,
Mekar dalam sanubari setiap nyanyian,
Di sini, bintang-bintang padam
Di sini, tangis para malaikat
Di sini, rekah bunga sedap malam
Lebih murah daripada semak duri gurun
Di sini, pada setiap ujung jalan, duduklah
Iblis aib dan kemunafikan
Bias dari nyala pagi
Dalam langit gelap yang tidak aku lihat
Sekali lagi, biar mataku terisi
Dan penuh dengan tetesan embun;
Aku telah berpisah dari diriku untuk membuka selubung
Dari wajah suci Bunda Maria
Aku terkoyak dari pesisir nama baik
Dari dadaku terpancar bintang prahara
Jangkauan terbang dari api amarahku
Sayangnya adalah, ruang gelap penjara ini
Di pintu yang gelap aku bersandar
Alisku dengan derita yang bertumpuk;
Melalui pintu terbuka ini aku berlari
Jari-jariku yang kurus dan beku penuh harap
Kelompok pertapa dan berlagak suci ini
Tidak mudah, aku tahu, untuk diadu;
Kotamu dan kotaku, anakku yang manis,
Telah lama menjadi sarang iblis
Akan tiba hari ketika, dengan belas kasih
Matamu akan memainkan nyanyian nestapa ini,
Dalam kata-kataku kau akan mencariku
Dan membatin, “Dia adalah orang yang melahirkanku.”
Puisi-puisi di atas (“My Heart Grieves for the Garden”, “Couple”, dan “A Poem for You“) disadur oleh Raisa Kamila dari buku “Another Birth and Other Poems” (Mage Publisher, 2010) terjemahan Hasan Javadi dan Susan
Leave a comment