nukilan naskah novel “Perkara Keramat”
Seperti kesepakatan tak tertulis, sebagian besar warung makan di Banda Aceh hanya buka saat jam makan tertentu. Sebagian orang mengatakan, hal itu dilakukan agar rezeki tiap penjual makanan bisa terbagi rata dalam satu hari, sementara sebagian yang lain menyebut bahwa orang-orang di kota itu tidak ingin waktu mereka habis hanya untuk bekerja; beberapa jam berjualan harus diimbangi dengan lebih banyak waktu untuk bersantai dan berkumpul dengan kerabat serta keluarga.
Namun, Kedai Mieso H. Idris adalah salah satu pengecualian: buka sejak pukul 10 pagi dan baru tutup menjelang pukul 11 malam. Makanan yang dihidangkan, mieso, bisa disantap kapan saja. Sebagai sarapan oke, sebagai makan siang cocok, sebagai jajan sore tidak masalah, dan disantap sebagai makan malam tetap mengundang selera. Karena terletak di tengah Pasar Aceh dan cukup dekat dengan Masjid Raya, pengunjung yang mampir pun selalu ramai dan beragam.
Sebelum azan Zuhur, biasanya kedai dipenuhi anak-anak sekolah yang membolos dan wisatawan lokal yang baru menghabiskan waktu di Masjid Raya. Pada jam makan siang, pegawai bank dan pegawai negeri sering datang bergerombol. Waktu sebelum azan Ashar merupakan jeda bagi pekerja kedai, biarpun sesekali juga ada kunjungan dari si Alu, pemuda sakit jiwa gara-gara gagal masuk Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, atau si Nova, perempuan pemulung di Pasar Aceh yang juga sakit jiwa dan suka bercerita tentang rumahnya yang seperti istana di jalan arah ke Pantai Lhok Nga.
Pengunjung paling ramai datang di antara waktu setelah salat Ashar sampai menjelang azan Magrib. Ada pasangan muda-mudi berkencan, sekawanan perempuan remaja, keluarga muda yang masih canggung dengan anak pertama, anggota klub bola yang pulang berlatih, juga pedagang-pedagang yang baru menutup lapaknya di Pasar Aceh. Mulai dari selepas azan Magrib hingga azan Isya, polisi, tukang becak, tukang parkir, dan satu dua mahasiswa akan mampir untuk menyantap mieso racikan Pak Idris.
Selain itu, tidak banyak yang Hasan dan Husein tahu tentang Kedai Mieso H. Idris, termasuk asal usul nama kedai mieso itu, dan nasib yang menyertainya kemudian. Yang mereka tahu, semasa masih berpacaran, Ayah dan Mamak rutin menghabiskan akhir pekan dengan menyantap macam-macam makanan ringan yang dijajakan di sekitaran kota, salah satunya di Kedai Mieso H. Idris.
Kata Ayah, karena Mamak besar di Kampung Lambung, yang setiap keluarga di sana selalu memasak kue dan gulai khas Aceh Besar, ia merasa bosan dengan makanan kaya rempah dan kuah pekat. Maka setiap pergi kencan, Mamak yang memutuskan untuk makan apa. Di awal pacaran, pilihan tempat kencan cukup beraneka: Warkop Jaya (untuk mie pangsit ayam), Kedai Es Malvinas (untuk es krim jagung dan durian), Kedai Es Afuk (untuk es cendol dengan tape dan kacang merah), Mie Gunung Salju (untuk mie bistik ayam), Siomay Asahi (untuk siomay dan batagor), Rujak Garuda (untuk rujak serut bumbu asam jawa), Kedai Roti Mustafa Ali (untuk roti bantal bertabur meses warna warni), dan beberapa warung mie kocok seperti Sinar Sahara, Murni Jaya, dan Pangestu Bersaudara untuk menyebut beberapa.
Pada tahun kedua Ayah dan Mamak berpacaran, berbagai pilihan tempat makan yang membuat agenda kencan menjadi menyenangkan itu tiba-tiba hilang. Satu dua tempat makan mulai tutup karena beredar kabar penggunaan lemak babi. Kabar itu membuat banyak orang enggan jajan makan di luar. Seperti aroma kentut, berita lemak babi itu susah dilacak dari mulut siapa pertama kali menguar. Mamak pernah suatu kali mengenang cerita-cerita dari kerabatnya di Kampung Lambung yang tersulut oleh isu lemak babi dan suatu ketika tidak melihat ada lemak bergumpal, seperti umumnya lemak sapi, pada kuah kaldu mie kocok di Sinar Sahara dan Murni Jaya. Beberapa kerabat tersebut sempat mendatangi kedua warung mie kocok itu, membeli masing-masing satu bungkus untuk diperiksa aroma, tekstur, dan warna kaldunya bersama orang-orang di sekitar rumah. Kesimpulan mereka: aromanya tidak anyir seperti sapi, teksturnya lebih cair, dan kaldunya tampak lebih pucat. Memang tidak ada yang pernah melihat peternakan babi di sudut mana pun, tapi ketakutan akan kandungan haram dalam makanan kesukaan membuat banyak orang di kota Banda Aceh saat itu merasa perlu perlindungan.
Yang Mamak dan banyak orang lain tidak tahu adalah apa yang kemudian terjadi dan bagaimana semua itu secara tidak sengaja melapangkan jalan untuk keberlangsungan kedai mieso milik Pak Idris.
Atas dasar keresahan warga, sejumlah pemuka agama dan pegawai dinas merasa perlu memeriksa warung-warung makan yang dikabarkan memakai lemak babi. Mereka lantas membentuk tim gabungan untuk memeriksa dapur, bahan mentah, alat masak, dan menanyakan surat izin usaha di setiap kedai makanan. Di beberapa warung, tim gabungan ini memang menemukan penggunaan lemak hewani campuran, yang didapat dari seorang pengecer di Pasar Peunayong, tetapi tidak ada yang tahu cara untuk memeriksa takaran lemak babi yang terkandung di dalamnya. Saat menemukan bahan tersebut di kedai milik Pak Idris, yang saat itu masih bernama Nikmat Abadi, seorang anggota tim gabungan menarik Pak Idris menjauh dan dengan raut serius mengatakan,
“Aku bicara begini karena aku tahu kau juga orang Aceh, sama-sama orang Islam juga…”
Pak Idris gelagapan sewaktu ditarik menjauh, lalu berusaha mengingat-ingat wajah anggota tim gabungan itu… Apakah orang ini pelanggan kedai mieso? Atau sering bertemu saat Salat Jumat di Masjid Raya?
Saat itu, ia baru saja menerima kabar yang dititipkan adik iparnya di Meulaboh melalui supir bis ALS, bahwa dua hari lalu istrinya, Iklima, sudah melahirkan anak pertama mereka, seorang laki-laki, dengan selamat. Omongan anggota tim gabungan terdengar seperti bunyi kipas angin yang tak bisa berhenti.
“Besok pagi hasil temuan kami akan terbit di Serambi Indonesia, dan itu akan membuat kedaimu kehilangan pengunjung. Kalau aku boleh memberi saran, sebaiknya kau ganti nama kedaimu agar tidak terdengar seperti warung milik orang Jawa atau Cina.”
Pak Idris mengangguk. Ia tidak paham arah obrolan itu. Perasaannya bercampur aduk membayangkan bayinya sudah lahir, sehat, dengan jari kaki dan tangan yang lengkap, bibir dan hidung yang mungil, serta helaian rambut yang menutupi ubun-ubun. Setiap kali ia membayangkan bayi laki-laki, di dalam hati ia mengeja nama yang sudah ia persiapkan: Hamdani, yang menurut penjual kitab di Toko Tabah Usaha, berarti terpuji.
“Baik Pak, saya memang berencana mengganti nama kedai ini dengan nama anak saya,” ujar Pak Idris.
Selain sudah berencana mengganti nama kedainya, ia juga sudah bersiap untuk menutup kedai mieso sementara waktu agar bisa menemani Iklima merawat anak pertama mereka bersama keluarga mertuanya di Meulaboh.
“Wah, kebetulan sekali. Siapa namanya?”
“Hamdani, Pak. Nanti nama kedai ini menjadi Kedai Mieso Hamdani,” jawab Pak Idris.
Raut muka anggota tim gabungan itu tampak berkerut.
“Itu nama yang bagus, tapi jujur saja, rasanya kurang memikat.”
Pak Idris tidak merasa perlu memberi tanggapan apa pun dan hanya tersenyum lebar melepas kepergian tim gabungan. Ia tahu betul alasannya memilih nama Hamdani untuk nama anak lelakinya, juga kedainya kelak. Dalam penanggalan Islam, kelahiran di bulan Zulkaidah adalah pertanda baik. Pak Idris ingat dalam salah satu khutbah Jumat, khatib menyatakan bahwa di bulan tersebut, perang dan perbuatan maksiat dilarang, sembari mengutip penggalan ayat dari surat At-Taubah. Nama adalah doa, pikir Pak Idris dan ia merasa kelahiran anak pertamanya di hari pertama Zulkaidah tidak hanya akan menjadi penyejuk hati baginya dan Iklima, tetapi juga menuntun segala hal yang mereka upayakan menjadi tindakan yang terpuji dan jauh dari apa-apa yang dilarang dalam agama.
Malam itu, ia berangkat ke Meulaboh dan larut dalam kebahagiaan bersama Iklima, melihat anaknya yang selalu menyusu dengan penuh semangat. Ia tidak tahu bahwa di koran Serambi Indonesia yang terbit esok harinya, hanya nama kedai Nikmat Abadi dan Warkop Jaya yang tidak tercantum sebagai warung makan yang menggunakan lemak hewani campuran.
Selama libur berjualan, Pak Idris menimbang-nimbang bagaimana nama anaknya akan disematkan untuk kedai mieso. Hanya menggunakan “Hamdani” terdengar janggal, sementara “Mieso Hamdani”, terasa sulit diucapkan. Iklima, yang sejak awal merasa nama “Nikmat Abadi” terlalu cabul, berharap nama baru untuk kedai mieso akan membuat orang-orang di sekitar Pasar Aceh bisa langsung mengingat dirinya sebagai ibu juga istri dari dua laki-laki yang tinggal di sana, meskipun namanya tidak tertera di papan kedai.
“Bagaimana kalau Kedai Mieso Hamdani Idris?” usul Iklima.
“Itu terlalu panjang…”
“Tapi Kedai Roti Mustafa Ali juga begitu kan?”
Dalam hati, Pak Idris ingin menyahut: Tetapi Mustafa Ali itu juga nama syahbandar terkemuka. Memangkasnya jadi Mustafa atau Ali saja justru akan membuat orang-orang kesal! Namun, keinginan itu ia urungkan. Mengingat tidak banyak permintaan istrinya sewaktu mengandung yang bisa ia kabulkan, maka, untuk urusan nama kedai ini Pak Idris memilih untuk menuruti saja.
Menjelang masa nifas Iklima berakhir, Pak Idris kembali ke Banda Aceh dan menemui temannya Ilyas di Kampung Peuniti, yang biasa menerima pesanan reklame dan papan nama toko.
“Untuk papan dengan nama sepanjang itu, aku cuma bisa kasih harga tujuh ribu.”
“Ah, terlalu mahal. Kau kok begitu sama kawan sendiri?”
“Kalau nggak cocok, jangan sama aku. Kau kira mudah melukis nama sepanjang itu?”
“Iya, aku tahu. Tapi masa tidak bisa empat atau lima ribu saja?”
“Bisa saja, tapi nanti tidak aku tulis lengkap ya?”
“Tidak lengkap maksudnya bagaimana?”
“Nanti aku singkat jadi Kedai Mieso H. Idris saja.”
Pak Idris ingin menjawab: Nama baru kedainya bisa membuat orang-orang salah kaprah. Tapi ia tidak ingin memperpanjang obrolan dan memilih untuk sepakat dengan Ilyas.
Leave a comment