Disampaikan untuk Mimbar Selasar 2024. Rekaman pembacaan naskah bisa dilihat di sini.
Assalamualaikum Wr. Wb.,
Salam sejahtera bagi Kita Semua,
Om Swastyastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan,
Sampurasun, Saleum Teuka, selamat malam hadirin sekalian.
Malam ini, Selasar Sunaryo mempertemukan kita semua dalam Mimbar Selasar yang bertajuk “Memandang Indonesia: Yang Terdepan, Terluar, dan Tertinggal.”
Dan secara tidak kebetulan, pada hari yang sama, 28 Oktober nyaris seabad lalu, orang-orang muda di berbagai penjuru nusantara, dengan titik pijak bahasa, pendidikan, budaya, dan kepercayaan yang beraneka, memutuskan untuk berkumpul dan bersama-sama menyepakati gagasan tentang Indonesia sebagai tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu.
Pada malam ini, saya ingin mengajak hadirin sekalian untuk berulang-alik bersama, memandang Indonesia dari atas, bawah, depan, belakang, kiri, kanan, dengan mata tertutup dan terbuka sekaligus.
Izinkan saya memulai pemaparan gagasan dengan cerita tentang:
Kesatuan yang Melayang-layang di Luar Angkasa
Pada 8 dan 9 Juli 1976, peluncuran Satelit Palapa dilakukan di dua belahan bumi: di Kennedy Space Center, Florida, Amerika Serikat dan di Stasiun Pengendali Utama Satelit Cibinong, Bogor, Indonesia. Pelepasan Satelit Palapa yang mengorbit di ketinggian 22,300 mil menjadi gebrakan teknologi komunikasi pertama dan satu-satunya di antara negara berkembang lainnya.
Penamaan satelit itu terinspirasi dari cerita Sumpah Palapa yang diikrarkan oleh Patih Gadjah Mada pada masa Kerajaan Majapahit: bahwa ia hanya akan menikmati palapa jika sudah berhasil menyatukan nusantara. Mengutip pernyataan Soeharto dalam buku memoarnya,
“Sekarang persatuan dan kesatuan Nusantara telah terwujud. Malahan harus makin kita perkokoh. Kekokohan itu akan makin kita perteguh dengan diluncurkannya Satelit Palapa itu yang merupakan bagian penting daripada sistem satelit domestik. Dengan sistem ini hubungan komunikasi dari suatu tempat ke tempat lain di seluruh Indonesia menjadi lancar dan cepat. Karena itulah sistem satelit domestik itu kita beri nama “Palapa” sebagai lambang terjelmanya sumpah Gadjah Mada untuk mempersatukan nusantara.”[1]
(Jeda video arsip ANRI dan Telkomsat 2 menit)
Arsip Video ANRI: Peluncuran Satelit Palapa dan Arsip Video TelkomSat
Berselang satu bulan dari hari peluncuran satelit, pada 16 Agustus 1976, di ruang masuk utama Gedung DPR-MPR Senayan, Presiden Soeharto menyelenggarakan peresmian penggunaan sistem komunikasi satelit domestik. Dalam rangkaian acara itu, Presiden Soeharto melakukan tiga panggilan telepon untuk menandai keterhubungan nusantara berkat Satelit Palapa. Pertama, gubernur DI Aceh, kedua, gubernur Irian Jaya, dan ketiga, jajaran pemerintah di Sabang dan Merauke.
Berdasarkan catatan Harian Kompas, rekaman percakapan tersebut kira-kira seperti:
“Halo Saudara Gubernur, selamat pagi!”
“Ya, Muzakir di sini.”
“Suaranya bisa jelas?”
“Terang, Pak.”[2]
Oleh antropolog Joshua Barker, dalam kajiannya mengenai kerja dan impian para insinyur di masa Orde Baru, ia menyatakan bahwa percakapan telepon tersebut mengisyaratkan secara simbolis bahwa Jakarta dan Presiden Soeharto adalah perantara yang akan menghubungkan daerah di tepian-tepian nusantara.[3] Dan untuk itu, yang paling penting bagi Presiden Soeharto adalah, suaranya terdengar dengan terang benderang di ujung sana.
Pada Satelit Palapa, cita-cita persatuan Indonesia dititipkan. Namun berbeda dengan deklarasi Sumpah Pemuda, atau dengan kesadaran persatuan di masa penjajahan, inisiatif itu tidak muncul dari proses pertukaran pemikiran, percakapan, dan pertemuan-pertemuan antar orang-orang muda yang terekam dan beredar melalui media cetak serta organisasi massa.[4]
Melainkan, dari sebuah imajinasi persatuan yang berada di ketinggian ribuan mil, yang lebih mirip penaklukan dan penyeragaman, khas daripada komando militer, yang hanya menerima satu jawaban: Siap – Laksanakan! Gagasan soal kesatuan lantas menjadi gagasan untuk menyeragamkan seluruh isi Indonesia; membuat seluruh isinya satu: tidak hanya satu tumpah darah, satu bangsa, dan satu bahasa, tapi juga satu jenis ejaan, satu jenis pangan, satu ideologi resmi, satu koridor untuk menjadi warga negara yang patuh, dan kemudian, satu presiden yang berkuasa selama tiga dekade penuh.
Pada tahun 1976, tahun yang sama dengan peluncuran Satelit Palapa, di tiap-tiap ujung nusantara, penaklukan dan pemberontakan pun terjadi. Bermulanya Operasi Jayapura di Papua pada bulan Januari, berakhirnya Operasi Seroja di Timor Leste pada bulan Juli, dan deklarasi Gerakan Aceh Merdeka pada bulan Desember.
(Jeda Video Arsip Associated Press tentang Aceh dan Arsip ANRI tentang Timor Timur 2 menit)
Arsip Video ANRI: Pelantikan Gubernur Timor Timur 1976 dan Arsip Video Associated Press Abdullah Syafii dan Upacara GAM
Hadirin sekalian, sekarang mari kita melangkah ke Aceh untuk bersama-sama mengintip dari lubang pintu seraya menerka,
Jika Jawa adalah Kunci, Bangunan Seperti Apakah Indonesia Itu?
Saya lahir di Banda Aceh dalam keluarga kelas menengah Muslim yang cukup taat. Saya besar dengan mendengar banyak cerita-cerita gerilya dan pengasingan dari keluarga sebelah Ayah maupun Ibu, yang sama-sama pernah terlibat dalam pemberontakan Darul Islam pada rentang tahun 1950an. Sentimen terhadap orang-orang Jawa, juga penganut agama selain Islam tercermin dari pergaulan orangtua saya—nyaris semua kerabat adalah Aceh dan Muslim, juga dari wejangan kepada anak-anaknya: jangan pernah menikah dengan ABRI dan “orang Jawa”.
Bagi saya yang besar di tengah konflik antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia di akhir tahun 1990an, “ABRI” dan “orang Jawa” mewujud dalam satu kata: si pa’i, yang terasa seperti kata ganti untuk keserakahan dan penindasan yang keji. Sewaktu kanak-kanak, olok-olokan nama orangtua terasa tidak ada artinya dibanding olok-olokan “Ayahmu si pa’i.”
Sewaktu memasuki sekolah menengah atas dan mulai terpapar dengan lebih banyak bacaan terkait sejarah Aceh serta Indonesia, saya seperti bisa memahami darimana kebencian tersebut bermuara. Sejak merdeka, nyaris semua presiden Indonesia adalah orang Jawa. Jalan raya yang mulus dan ketersediaan listrik juga lebih merata di pulau Jawa. Sekolah dan kampus terbaik juga hanya ada di pulau Jawa. Seperti kunci, pulau Jawa memang kecil saja dibandingkan pulau-pulau lain di nusantara. Dan seperti kunci pula, dari pulau Jawa segala sesuatu di Indonesia bisa keluar atau masuk, hidup atau mati, berakhir atau bermula.
Namun, yang tidak saya pahami pada saat itu adalah: konstruksi tentang identitas, baik sebagai orang Aceh, maupun Jawa, tidak pernah stabil. Sewaktu memulai kuliah di Yogyakarta dan memiliki lebih banyak teman dari berbagai penjuru pulau Jawa, perlahan saya belajar untuk melihat orang-orang yang berbagi ruang hidup di Jawa secara historis sekaligus interseksional. Kelas, gender, dan praktik kepercayaan yang bergandengan dengan penguasa sejak masa kolonial juga menindas orang-orang di sana: penutur Ngapak, transmigran, penganut Sunda Wiwitan, penari lengger, orang Samin, umat Katolik Jawa, buruh gendong di pasar-pasar, santri, petani garam; mereka semua bagian dari hidup di Jawa, tapi juga tidak diuntungkan oleh tata krama Orde Baru yang njawani.
Imajinasi tentang orang Jawa yang serba halus seperti yang ingin dicitrakan oleh rezim Orde Baru atau sebaliknya, sebagai si paling culas seperti yang dipahami orang-orang Aceh, adalah imajinasi homogen yang sama-sama menutup mata pada dinamika kehidupan sosial yang penuh saling silang kelas, agama, gender, dan orientasi seksual. Imajinasi homogen adalah warisan khas dari masa penjajahan, bahwa pembedaan sengaja diciptakan agar kita mudah ditertibkan oleh penguasa dan kita senantiasa bercuriga pada sesama.[5] Hal ini masih lekat dan terpelihara melalui institusi keluarga, pendidikan, media dan pemerintah: bahwa orang Jawa umumnya ulet, orang Aceh senantiasa saleh, orang Batak wataknya keras, orang Minang biasanya perhitungan, orang Sunda itu pemalas, orang Maluku suka berkelahi, orang Dayak mudah mengirim guna-guna… Imajinasi homogen ini seperti tumpukan jerami kering yang mudah terbakar, entah karena dibiarkan terkena sinar matahari terlalu lama atau karena tersulut oleh api-api kecil dari tangan-tangan usil. Konflik yang terjadi setelah Reformasi di Ambon, Poso, dan Sampit adalah catatan kelam betapa prasangka atas identitas dapat dengan sekejap meniadakan nyawa warga biasa, yang bisa jadi sama-sama kebingungan menghadapi sulitnya situasi ekonomi.
(Jeda Video Arsip Associated Press: Konflik Sampit dan Situasi Ekonomi Jelang Reformasi)
Arsip Video Associated Press – Konflik Sampit dan Krismon
Hadirin sekalian, pada kesempatan malam ini, saya ingin mengajak kita semua untuk coba menggeser jarak dan sudut pandang dalam melihat Indonesia. Karena, titik pandang pemerintah hingga kini nyatanya tidak bergeser jauh dari masa penjajahan dulu. Ini bukan tentang Jawa dan luar Jawa, namun tentang penciptaan “pusat” dan “pinggiran.” Relasi keduanya timpang, penuh tegangan, namun hanya bisa saling mengada karena sama-sama ketergantungan. Mari kita sama-sama melihat:
Sebuah Dunia dalam Skala, Sebuah Dunia dalam Derita
Selepas 24 tahun Reformasi, mantan presiden Joko Widodo mengusulkan untuk melakukan pemindahan ibukota negara. Alasannya: pemerataan baik dari sisi ekonomi, penduduk, maupun pembangunan. Mengutip rilisan berita dari situs Kementrian Sekretariat Negara pada 22 Februari 2023, ia menyatakan:
“Semuanya ada di Jawa, 58 persen (PDB ekonomi), dan 56 persen penduduk Indonesia itu ada di Jawa. Betapa sangat padatnya Pulau Jawa sehingga memerlukan yang namanya pemerataan pembangunan tidak Jawasentris tapi Indonesiasentris.”[6]
Masih dari rilisan berita yang sama, Jokowi juga menyampaikan bahwa pemindahan ibukota itu tidak hanya perkara memindahkan fisik bangunan, namun juga, saya kutip secara langsung: “pemindahan budaya kerja dan pola pikir baru disertai dengan sistem dan sumber daya manusia yang dipersiapkan dengan baik.”
Pernyataan presiden Jokowi tersebut menimbulkan banyak pertanyaan di benak saya.
Pertama, dengan menyatakan bahwa solusi dari penumpukan pembangunan, ekonomi, dan penduduk di pulau Jawa adalah pemindahan ibukota ke luar Jawa, kita seperti tengah dialihkan dari persoalan yang lebih fundamental: apa yang menyebabkan penumpukan itu terjadi? Apa yang menyebabkan ketidakmerataan ekonomi, penduduk, dan pembangunan sehingga hanya terpusat di pulau Jawa, bahkan setelah ada kebijakan desentralisasi pasca Reformasi?
Kedua, pernyataan bahwa pemindahan ibukota itu bukan saja soal gedung pemerintahan dan kompleks perumahan pegawai negeri, namun juga soal “budaya kerja dan pola pikir baru.” Tapi, seperti apakah budaya kerja dan pola pikir yang sudah ada? Adakah yang bisa dengan terbuka mengungkapkan bentuk daripada budaya kerja dan pola pikir “lama,” efek dari segalanya yang ada di Jawa, sehingga agar terjadi perubahan, maka budaya kerja dan pola pikir itu juga harus dipindahkan ke Kalimantan Timur sana? Dan, sesungguhnya, budaya kerja dan pola pikir siapa yang harus diubah? Aparatus negara atau warga sipil seperti kita semua?
(Jeda arsip video Soeharto di NTT dan Anak Cerdas dari Maluku)
Arsip RCTI Buletin Siang – Anak Cerdas dari Maluku dan Arsip Video Pernyataan Soeharto Proyek Nusa Tenggara Desa Tertinggal (dari menit 2:27 – 4:00)
Benarkah dengan memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan Timur, maka pembangunan ekonomi dan persebaran penduduk, dengan seketika maupun bertahap, akan merata?
Jika kita melangkah mundur dalam alur waktu, maka kita akan melihat pola yang berulang: yaitu perpindahan pusat administrasi VOC dari pulau-pulau di Maluku ke pesisir utara Jawa; kemudian perpindahan pelabuhan dari Sunda Kelapa ke Tanjung Priok, yang menandai meningkatnya arus keluar masuk manusia dan komoditas. Setelah itu, secara bertahap kita akan melihat pembangunan infrastruktur yang menopang perputaran ekonomi wilayah jajahan: pelabuhan, jalan raya pos dari Anyer ke Panarukan, jaringan kereta api yang mencengkeram seluruh pulau Jawa.
Keterhubungan, integrasi dan persatuan, terasa seperti kata yang berbeda untuk praktik yang pada dasarnya sama: penentuan gerak benda, manusia, dan kapital melalui satu koridor saja. Memindahkan pusat pemerintahan ke tempat lain hanya akan menciptakan daerah-daerah pinggiran baru. Memindahkan pusat pemerintah ke tempat lain adalah memindahkan praktik akumulasi kekayaan, eksploitasi manusia, dan ekstraksi alam ke tempat lain pula.
Jika dalam skala nasional kita melihat ada pusat pengambilan kebijakan politik dan ekonomi di Jakarta, maka kita akan melihat daerah-daerah yang membujur dan melintang paling jauh dari sana sebagai daerah 3T: Terdepan, Terluar, dan Tertinggal. Namun jika skala itu kita perbesar, dari tingkat regional dan kemudian global, maka kita akan melihat pusat-pusat yang lain, titik-titik kendali ekonomi dan politik yang lebih digdaya, dan membuat Indonesia justru menjadi negara pinggiran, negara berkembang, negara dunia ketiga.
Jeda video:
Trio Kwek-Kwek “Katanya” https://youtu.be/yxS3OdkZWko?feature=shared
Hadirin sekalian,
Sewaktu belajar sejarah di sekolah dasar, saya merasa kebingungan memahami Sumpah Pemuda. Bukan soal isinya, melainkan proses yang terjadi sebelum sumpah itu dibacakan. Saya bingung karena, bagaimana caranya orang-orang muda dari berbagai penjuru nusantara bisa bersepakat untuk bertemu di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928? Dalam pikiran kanak-kanak saya muncul pertanyaan: apakah mereka sudah saling kenal sebelumnya? Pergi ke sekolah yang sama? Lalu saling menghubungi lewat telepon umum untuk menentukan tempat dan waktu pertemuan? Atau saling berkirim surat? Berapa lama waktu yang mereka butuhkan untuk saling mengirim surat atau bertelponan sehingga akhirnya semua bisa berkumpul di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928?
Pertanyaan naif semacam itu muncul karena, bagi saya yang waktu itu tinggal di Banda Aceh, mengirim kartu ucapan lebaran untuk sepupu-sepupu di Medan, Jakarta, dan Palangkaraya bisa memakan waktu berminggu-minggu. Dan untuk memastikan kartu ucapan lebaran itu sampai di tangan para sepupu, saya juga harus menelpon ke rumah mereka. Sehingga, ketika membaca nukilan peristiwa sejarah semacam Sumpah Pemuda, yang dihadiri oleh orang-orang muda dari Jawa, Sulawesi, Sumatra, maka yang terlintas di pikiran saya sederhana saja: darimana dan bagaimana mereka bisa saling kenal?
Sewaktu akhirnya melanjutkan pendidikan tinggi di bidang sejarah, saya menemukan beragam hipotesa terkait keterhubungan yang terjadi sebelum batas-batas negara ada. Salah satu sodoran hipotesa yang cukup tekun saya simak adalah keterhubungan yang terjadi dari pendayagunaan teknologi: mesin cetak, kereta api, radio, kapal uap, pengeras suara…[7] Mesin cetak yang awalnya digunakan untuk mewartakan perkembangan ekonomi dan politik di Belanda kemudian didayagunakan oleh orang-orang muda terdidik untuk mencetak surat kabar yang menyerukan gagasan anti-kolonialisme. Buruh yang semula mengoperasikan kereta api untuk mengangkat hasil bumi dari perkebunan ke pelabuhan justru mengambilalih kemudi dan menyerukan mogok massal. Kapal uap menjadi tempat berkumpul orang-orang yang mondar-mandir jazirah Arabia dan bersinggungan dengan gagasan tentang kedaulatan sebagai ummah yang terjajah.
Bagi saya, semua hipotesa itu memberi petunjuk tentang satu hal: bahwa, selain sebagai alat kontrol penguasa, teknologi juga bisa disabotase oleh warga biasa untuk bertemu dengan sejajar— tanpa pusat dan pinggiran, mata bertemu mata, secara nyata maupun maya, dan memungkinkan terjalinnya rasa kebersalingan. Cita-cita persatuan dan kesatuan akan selalu terdengar seperti komando jika hanya memperhitungkan sudut dan jarak pandang penguasa.
Saya akan menutup pemaparan gagasan malam ini dengan tawaran untuk tidak hanya terhubung secara sejajar dengan sesama, tapi juga dengan masa lalu yang pernah kita bagi bersama, dengan banyak orang lain di berbagai belahan dunia, melalui buku, internet, karya seni, film, makanan, olahraga, atau apa saja yang paling mudah kita jangkau.
Dari sana, kita bisa bersama-sama menyimak dan memperpanjang percakapan-percakapan antara sesama warga dulu dan kini: yang marah, yang trauma, yang lelah, yang dalam takut dan diam berusaha untuk senantiasa memiliki harapan tentang hidup yang lebih baik, lebih adil, dan lebih setara di Indonesia sekaligus di dunia hari ini.
Terima kasih.
Penutup (lagu saja): Video Pembuka Doraemon
***
[1] Dwipayana, G dan Ramadhan KH. 1982. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta: PT Citra Kharisma Bunda.
[2] Harian Kompas, 18 Agustus 1976.
[3] Barker, Joshua. 2005. “Engineers and Political Dreams: Indonesia in the Satellite Age.” Current Anthropology 46 (5): 707-708.
[4] Anderson, Benedict. 2016. Imagined Communities. London: Verso Books.
[5] Cooper, Frederick, and Ann Laura Stoler, eds. 1997. Tensions of Empire: Colonial Cultures in a Bourgeois World. 1st ed. University of California Press.
[6] Presiden Jokowi: Alasan Utama Pembangunan IKN adalah Pemerataan https://www.setneg.go.id/baca/index/presiden_jokowi_alasan_utama_pembangunan_ikn_adalah_pemerataan diakses pada 24 Oktober 2024.
[7] Selain kajian Benedict Anderson, lihat juga: Takashi Shiraishi (An Age in Motion: Popular Radicalism in Java 1912- 1926 – 1990), Rudolf Mrazek (Engineers in Happy Land – 2002) Michael Laffan (Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: the Ummah Below the Winds – 2002), Klaas Stutje (Campaigning in Europe for a Free Indonesia: Indonesian Nationalist and the Worldwide Anti-colonial Movement, 1917 – 1931 – 2019), Kris Alexanderson (Subversive Seas: Anticolonial Networks Across the Twentieth-Century Dutch Empire – 2019), Hongxuan Lin (Ummah yet Proletariat: Islam, Marxism, and the Making of Indonesia Republic – 2022) Rianne Subijanto (Communcation Against Capital: Red Englightenment at the Dawn of Indonesia – 2024).
Leave a comment